Kamis, 01 Juli 2010

Perilaku Menyimpang Masyarakat Kumuh

Oleh :
Ghufronudin
Mahasiswa Pendidikan Sosiologi Antropologi
Universitas Sebelas Maret Surakarta

Penduduk yang menempati pemukiman kumuh di DKI Jakarta adalah kaum migran yang pada umumnya berpenghasilan rendah yang tidak dapat mencukupi kebutuhan hidupnya di daerah asal. Dari keadaan ekonomi yang buruk, masyarakat desa terdorong untuk datang kekota-kota terdekat dengan harapan akan mendapatkan pekerjaan dalam rangka usaha melakukan perbaikan kualitas hidupnya. Kecepatan migrasi ini juga didorong oleh pembangunan kota dan sekitarnya—seperti perluasan kawasan industri dan perdagangan, merupakan daya tarik tersendiri bagi penduduk desa dan tepian kota untuk bekerja di kota. Setelah mereka sampai di kota, ternyata mereka pada umumnya tidak cukup memiliki kamampuan untuk mendapatkan pekerjaan yang layak, disebabkan kurangnya keterampilan, tanpa modal usaha, tempat tinggal tak menentu, rendahnya penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, rendahnya daya adaptasi sosial ekonomi dan pola kehidupan kota. Kondisi yang serba terlanjur, kekurangan dan semakin memprihatinkan itu mendorong para pendatang tersebut untuk hidup seadanya, termasuk tempat tinggal yang tidak memenuhi syarat kesehatan.
Sasaran tempat tinggal para pendatang pada umumnya di pusat-pusat perdagangan, seperti pasar kota, perkampungan pinggir kota, dan disekitar bantaran sungai kota. Kepadatan penduduk di daerah-daerah ini cenderung semakin meningkat dengan berbagai latar belakang sosial, ekonomi, budaya dan asal daerah. Perhatian utama pada penghuni permukiman ini adalah kerja keras mencari nafkah atau hanya sekedar memenuhi kebutuhan sehari-hari agar tetap bertahan hidup, dan bahkan tidak sedikit warga setempat yang menjadi pengangguran. Sehingga tanggungjawab terhadap disiplin lingkungan, norma sosial dan hukum, kesehatan, solidaritas sosial, tolong menolong, menjadi terabaikan dan kurang diperhatikan.
Oleh karena para pemukim pada umumnya terdiri dari golongan-golongan yang tidak berhasil mencapai kehidupan yang layak, maka tidak sedikit menjadi pengangguran, gelandangan, pengemis, yang sangat rentan terhadap terjadinya perilaku menyimpang dan berbagai tindak kejahatan, baik antar penghuni itu sendiri maupun terhadap masyarakat lingkungan sekitanya. Kondisi kehidupan yang sedang mengalami benturan antara perkembangan teknologi dengan keterbatasan potensi sumber daya yang tersedia, juga turut membuka celah timbulnya perilaku menyimpang dan tindak kejahatan dari para penghuni pemukiman kumuh tersebut. Kecenderungan terjadinya perilaku menyimpang (deviant behaviour) ini juga diperkuat oleh pola kehidupan kota yang lebih mementingkan diri sendiri atau kelompokya yang acapkali bertentangan dengan nilai-nilai moral dan norma-norma sosial dalam masyarakat.
Perilaku menyimpang pada umumnya sering dijumpai pada permukiman kumuh adalah perilaku yang bertentangan dengan norma-norma sosial, tradisi dan kelaziman yang berlaku sebagaimana kehendak sebagian besar anggota masyarakat. Wujud perilaku menyimpang di permukiman kumuh ini berupa perbuatan tidak disiplin lingkungan seperti membuang sampah dan kotoran di sembarang tempat. Kecuali itu, juga termasuk perbuatan menghindari pajak, tidak memiliki KTP dan menghindar dari kegiatan-kegiatan kemasyarakatan, seperti gotong-royong dan kegiatan sosial lainnya. Bagi kalangan remaja dan pengangguran, biasanya penyimpangan perilakunya berupa mabuk-mabukan, minum obat terlarang, pelacuran, adu ayam, bercumbu di depan umum, memutar blue film, begadang dan berjoget di pinggir jalan dengan musik keras sampai pagi, mencorat-coret tembok/bangunan fasilitas umum, dan lain-lain. Akibat lebih lanjut perilaku menyimpang tersebut bisa mengarah kepada tindakan kejahatan (kriminal) seperti pencurian, pemerkosaan, penipuan, penodongan, pembunuhan, pengrusakan fasilitas umum, perkelahian, melakukan pungutan liar, mencopet dan perbuatan kekerasan lainnya.
Seperti telah diuraikan pada Latar Belakang, bahwa kaum migran yang bermukim di kota memiliki aktivitas ekonomi yang berbeda dari aktivitas pada waktu mereka masih di daerah asalnya, keadaan seperti itu cenderung menimbulkan masalah-masalah baru yang menyangkut: (a) masalah persediaan ruang yang semakin terbatas terutama masalah permukiman untuk golongan ekonomi lemah dan masalah penyediaan lapangan pekerjaan di daerah perkotaan sebagai salah satu faktor penyebab timbulnya perilaku menyimpang, (b) masalah adanya kekaburan norma pada masyarakat migran di perkotaan dan adaptasi penduduk desa di kota, (c) masalah perilaku menyimpang sebagai akibat dari adanya kekaburan atau ketiadaan norma pada masyarakat migran di perkotaan. Disamping itu juga pesatnya pertumbuhan penduduk kota dan lapangan pekerjaan di wilayah perkotaan mengakibatkan semakin banyaknya pertumbuhan pemukiman-pemukiman kumuh yang menyertainya dan menghiasi areal perkotaan tanpa penataan yang berarti.
Penataan permukiman sebagai satu aspek dalam proses pembangunan, belum menampakkan hasil yang memuaskan dan belum mewujudkan suatu kondisi pemerataan penataan pemukiman yang seimbang. Pembebasan areal perkampungan kumuh dibeberapa bagian kota, pada kenyataannya hanya memberi keuntungan bagi sekelompok anggota masyarakat tertentu, yaitu kelompok menengah ke atas.
Berdasarkan hal tersebut di atas, seberapa jauh pengaruh lingkungan permukiman kumuh terhadap perilaku penghuninya, juga telah diteliti oleh Clinard, Abbot dan Paul Bell di Uganda-Afrika. Kondisi pemukiman kumuh—atau yang disebut dalam penelitian itu dengan slum area, berpengaruh pada tingginya angka kejahatan, hal itu antara lain disebabkan karena kurangnya fasilitas di permukiman kumuh, listrik, drainase, tempat buang sampah, WC yang teratur, yang semuanya jauh dari layak.
Akibat lain dari minimnya sarana dan prasarana tersebut menimbulkan pula berbagai perilaku menyimpang, dan bahkan kejahatan sebagai problem sosial seperti pencurian, pekelahian, keapatisan, membuang kotoran disembarang tempat dan sebagainya. Sepanjang tidak tertanggulanginya masalah-masalah pada permukiman kumuh dengan sosial approach-nya, sepanjang itu pula perilaku menyimpang dan kejahatan akan terus terjadi dan meningkat. Temuan Abbot juga menjelaskan bahwa mabuk-mabukan, pelacuran, kenakalan anak dan remaja dan bentuk-bentuk lain penyakit masyarakat secara otomatis melekat pada ciri-ciri lingkungan permukiman kumuh (Clinard dan Abbott, 1973).
Sumber : Dikuitp dari artikel Zuryawan Isvandiar Zoebir
Analisis
Diwilayah perkotaan dampak migrasi merupakan masalah pokok yang harus dihadapi, oleh karena akibat-akibatnya seperti “urbanisasi sebagai suatu cara hidup” (pemusatan penduduk di dalam kota dianggap sebagai suatu cara hidup individu, serta interaksi antara individu). Lahirnya corak hidup kaum urban (individu yang ekstrim, penuh perhitungan dan sifat bersaing, mementingkan penampilan luar, menekankan hal-hal yang bersifat pribadi, sifat acuh tak acuh dan sifat agresifitas warga kota). Pertentangan-pertentangan disekitar konsumsi kolektif, perampasan tanah kota atau pengusiran-pengusiran penghuni-penghuni liar, konflik budaya dan lain sebagainya. Hal-hal tersebut tidak dijumpai di daerah perdesaan. Sifat khas penuh gotong royong, tolong menolong antar warga dan ramah tamah dalam ikatan pedesaan yang kental, sangat bertolak belakang dengan yang dijumpai di daerah perkotaan. Benturan-benturan inilah yang menyebabkan penduduk pendatang merasa asing dan frustrasi disamping mereka harus terus mempertahankan hidup, dilain pihak mereka merasa tidak mampu menghadapi persaingan yang keras untuk hidup di perkotaan.
Penduduk kota yang semakin membengkak ini sudah barang tentu akan menyebabkan timbulnya berbagai kerawanan sosial di perkotaan. Para migran dari desa ketika pertama kali datang ke kota akan mengalami kesulitan-kesulitan, baik dalam memperoleh prasarana hidup di kota, maupun bebab psikologis yang dihadapi terhadap lingkungan perkotaan. Terjadinya benturan dari kebiasaan lama ke kebiasaan baru yang pada akhirnya menimbulkan krisis identitas yang merupakan manifestasi dari ketiadaan norma (anomie), yakni kesenjangan antara ditinggalkannya norma tradisional yang mereka hayati sewaktu tinggal di desa dengan diterimanya norma baru di kota. Keadaan ini akan memudahkan para migran melakukan perbuatan yang melanggar norma (perilaku menyimpang) ataupun terjerumus ke dalam tindakan-tindakan kejahatan
Ada berbagai informasi yang memungkinkan kita mendapatkan pemahaman tentang tindakan kriminal sebagai bagian dari perilaku menyimpang (deviance), yaitu suatu perilaku yang tidak disukai, disetujui, atau tidak dikehendaki oleh sebagian masyarakat. Artinya, perilaku menyimpang merupakan suatu tindakan yang tidak sesuai dengan apa yang diharapkan oleh norma-norma sosial yang berlaku didalam masyarakat. Timbulnya perilaku menyimpang tidak hanya disebabkan oleh faktor individu saja, tetapi juga dipengaruhi oleh faktor-faktor lain, seperti faktor lingkungan sosial ataupun faktor masyarakat. Oleh karenanya, perilaku menyimpang bukan semata-mata produk pribadi seseorang, tetapi juga dibentuk dari hubungan dengan masyarakat karena adanya pergeseran dan perkembangan masyarakat dari situasi terentu ke situasi yang lain, terutama akibat modernisasi dan derasnya kemajuan informasi pada saat ini. Disamping itu, proses sosial perilaku menyimpang senantiasa berdampingan dengan perkembangan masyarakat dan kebudayaan, ini berarti didalamnya terdapat benturan-benturan nilai, baik benturan nilai-nilai kemasyarakatan maupun benturan nilai-nilai kebudayaan. Benturan nilai-nilai kemasyarakatan adalah kondisi yang tidak seimbang antara interpertasi masyarakat tentang standar tata nilai yang sedang berlaku. Sedangkan benturan nilai-nilai kebudayaan adalah kondisi yang tidak seimbang antara perkembangan kebudayaan yang bersifat material dengan kebudayaan yang bersifat moral. Misalnya, antara perkembangan teknologi dengan kemampuan manusia dalam memanfaatkannya demi kesejahteraan manusia itu sendiri. Kalau tidak, justru teknologi itu yang akan mempengaruhi manusia. Kalau sudah demikian, maka tidak mustahil akan timbul berbagai penyimpangan yang akhirnya dapat menimbulkan kejahatan.
Disamping itu pula pada umumnya para pendatang baru itu adalah orang-orang yang tidak mampu dalam segi ekonomi (ekonomi lemah). Jika pada daerah yang baru (kota) mereka tidak cukup mempunyai bekal keterampilan dan kesanggupan untuk berjuang dalam berbagai kekerasan, persaingan hidup, maka kesukaran-kesukaran di dalam mencukupi kebutuhan hidupnya tidak bisa diatasi, sehingga dapat menimbulkan perilaku menyimpang dan bahkan kejahatan. Latar belakang lain yang erat kaitannya dengan tumbuhnya permukiman kumuh adalah akibat dari ledakan penduduk di kota-kota besar, baik karena urbanisasi maupun karena kelahiran yang tidak terkendali. Lebih lanjut, hal ini mengakibatkan ketidakseimbangan antara pertambahan penduduk dengan kemampuan pemerintah untuk menyediakan permukiman-permukiman baru, sehingga para pendatang akan mencari alternatif tinggal di permukiman kumuh untuk mempertahankan kehidupan di kota.

1 komentar:

  1. Jammin' Jars Casino and Resort - JT Hub
    Play 서울특별 출장마사지 online slots, video poker, 포커 고수 blackjack, 구리 출장마사지 roulette and other table games at 천안 출장샵 Jammin' 보령 출장샵 Jars Casino and Resort located in Uncasville, CT.

    BalasHapus