Kamis, 01 Juli 2010

PELACURAN BERSERAGAM SEKOLAH

Oleh :
Ghufronudin
Mahasiswa Pendidikan Sosiologi Antropologi
Universitas Sebelas Maret Surakarta

Ditengah hiruk-pikuknya masalah pendidikan di negeri ini karena disibukkan dengan penerimaam siswa baru ataupun mahasiswa baru, tidak menjadikan masalah yang satu ini hilang begitu saja. Diakui atau tidak, pelacuran berseragam sekolah tetap ada. Hasil investigasi sebuah stasiun TV swasta di negeri ini tentang pelacuran di balik seragam sekolah membuat prihatin banyak pihak. Betapa tidak, jumlahnya ternyata cukup banyak dan menjadi preseden buruk bagi dunia pendidikan kita. Harus diakui keberadaannya susah-gampang-gampang untuk dibuktikan. Namun kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa mereka benar adanya. Tidak heran mereka sudah mempunyai predikat sendiri, semisalayamsekolahataupunayamkampus.

Penulis tertarik untuk menulis ini karena mereka termasuk orang-orang kreatif yang mampu memanfaatkan potensi diri walaupun dengan jalan yang tidak baik. Mereka pandai memanfaatkan seragam sekolah sebagai media mencari keuntungan dan kenikmatan sendiri. Seragam sekolah dijadikan daya tarik untuk mencari pelanggan dan sekaligus dijadikanpelindungbagikegiatanmaksiatnya.

RemajadanPencarianDiri

Masa remaja adalah masa peralihan dari masa anak-anak ke masa dewasa. Peralihan ini meliputi semua perkembangan yang dialaminya sebagai persiapan memasuki masa dewasa. Dalam proses memasuki masa dewasa, remaja mengalami perubahan baik secara fisik maupun psikologis. Remaja dianggap sudah tidak seperti anak-anak lagi, untuk itu ia dianggap mampu untuk menjadi dewasa.ia pun harus siap berhadapan dengan berbagai masalah.

Bambang Y Mulyono, menyebutkan bahwa dalam masa remaja seseorang juga mengalami perkembangan seksualitas. Oleh karena itu, mulai timbul dorongan-dorongan seksual yang kadang-kadang kuat sekali. Apabila mereka tidak dapat atau tidak mampu menahan dorongan ini, terutama karena ego mereka kurang dewasa maka mudah sekali remaja tersebut terjerumus dalam hubungan seksual. Pada masa remaja, terutama perubahan jasmani menyangkut segi-segi seksual biasa terjadi di antara umur 13-14 tahun. Perubahan-perubahan ini biasanya berjalan sampai umur 20-21 tahun. Oleh karena itu, masa remaja biasanya dianggap terjadi di antara umur 13-21 tahun. Di sini masa-masa kritis dialami oleh remaja.

Perkembangan remaja secara fisik apat dilihat dari perubahan yang sangat mencolok pada anak wanita dengan melihat pertambahan berat badan terutama disebabkan oleh bertambahnya jaringan pengikat di bawah kulit, terutama pada paha, pantat, lengan atas dan dada. Sedangkan pada anak pria lebih disebabkan oleh makin bertambah kuatnya susunan uratdaging.

Secara psikologis perkembangan remaja meliputi perkembangan intelektual, emosional, dan identitas. Perkembangan intelektual remaja menyebabkan ia mampu memikirkan dirinya sendiri dan hal ini membuat remaja mempunyai ide-ide berlebihan yang disertai dengan teori-teori dan sikap kritis. Perkembangan emosional berhubungan dengan ego atau ke-akuan. Emosional pada remaja tidak tetap, hal ini menyebabkan remaja sering kali rentan pada perkembangan ini. Perkembangan identitas juga menjadi sangat rentan bagi remaja. Berusaha mencari tahu siapa aku ini, apa jadinya aku, mau apa aku dan seterusnya. Pertanyaan-pertanyaan tersebut muncul di benak remaja. Tidak heran jika banyak remaja yang pada proses pencarian identitas diri mengalami proses perubahan yang cukup cepat. Pada satu sisi mereka ingin diakui, namun di sisi lain mereka belum siap untuk menjadi diri merekasendiri.

BerlindungdiBalikSeragamSekolah

Pada umumnya orang akan mengecam bahkan mengutuk pelacuran itu, namun demikian ada pula yang bersimpati kepada mereka. Kendati banyak yang mengutuknya tidak dapat dipungkiri bahwa pelacuran berseragam sekolah tetap ada. Kartini Kartono dalam bukunya Pathologi Sosial (1981) menuliskan bahwa pelacuran yang sering disebut sebagai prostitusi (dari kata Latin prostituere atau prostauree) adalah membiarkan diri berbuat zinah, melakuan persundalan, percabulan, pergendakan. Selain itu, Bonger dalam Gilbert dan Reinda (1996), menyatakan bahwa prostitusi adalah gejala kemasyarakatan dengan wanita yang menjual diri dan melakukan perbuatan tersebut sebagai mata pencaharian.

Hellen Buckingham seperti dikutif A.N. Krisna (1979), pelacuran adalah hasil langsung dari usaha perekonomian seorang wanita. Pelacuran adalah profesi wanita yang paling purba, di mana untuk pertama kalinya seorang wanita memperoleh penghasilannya, dan hasilnya yang paling langsung lantaran modalnya adalah dagingnya sendiri.

Dalam majalah Jakarta-Jakarta ditulis, kalau anda menjumpai cewek pelajar menggunakan baju seragam agak tipis, menerawang, maka besar kemungkinan itulah cewek yang anda cari. Kode lain konon adanya tempelen tensoplast pada badge lokasi sekolah yang dijahit pada lengan baju. Namun menurut Gilbert dan Reinda (1996), tanda-tanda inipun seringkali berubah-ubah. Biasanya setelah arti suatu tanda terbongkar luas, mereka membuat tanda rahasia baru. Gilbert dan Reinda menemukan bahwa tahun 1982-1984, tanda yang digunakan adalah tali sepatu yang diikat ke belakang. Tahun 1984-1986, tandanya tensoplast yang ditempel pada tas sekolah dan satu jari (biasanya ibu jari) memakai pewarna kuku. Biasanya juga mereka memakai anting-anting lebih dari satu pada telinga kiri.

Bahkan lebih garang lagi laporan Majalah Lisptik. Banyak mall di Jakarta yang dipadati pelajar dan baju seragam yang dipakai tampa badge lokasi sekolah, dan "anehnya" mereka tampa menggunakan BH. Konon kata security di sana, mereka bisa diajak kencan.

Untuk mengetahui jelas memang agak susah. Selintas mereka sama seperti pelajar kebanyakan. Mereka seolah-olah mencari suatu barang di pasar ataupun pusat perbelanjaan. Jika bertemua sesama wanita mereka terlihat biasa saja, namun jika bertemu dengan lawan jenis maka reaksi mereka agak berlebihan bahkan sengaja mencari perhatian, terlebih jika menemui orang yang tampan atau sudah berumur namun necis (biasanya mereka memperhatikan baju, celana, HP, jam tangan, ikat pingggang, dan pena).

Di pusat perbelanjaan, mereka biasanya berkelompok 2-5 orang. Gaya serta tingkah laku mereka memang sengat dibuat-buat, terlebih jika ada mangsa maka mereka sengaja mencari perhatian. Misalnya bagi mangsa yang berumur dan necis, dengan menanyakan waktu, menanyakan nomor telpon tertentu, dan lainnya. Jika yang seumuran cukup dengan pandangan mata, kedipan, maupun senyuman maka semuanya bisa berlanjut pada pembicaraan. Tidak jarang jika mereka pakai mobil cara-cara yang digunakan misalnya dengan membunyikan klakson pendek sebanyak tiga kali, memainkan lampu, dan melambaikan tangan tanda kenal. Jika si mangsa mengerti maka dapat langsung berlanjut

Mengenai tempat mangkal pasti, mereka berbeda dengan PSK (Penjaja Seks komersil) kebanyakan. Layaknya pelajar, mereka lebih senang beroperasi di pusat-pusat perbelanjaan, diskotek-diskotek, dan tempat-tempat nongkrong remaja kebanyakan. Bahkan pengelola sebuah diskotek di Jakarta mengaku sengaja memberikan free-pass atau card kepada mereka untuk masuk gratis dengan alasan mereka dapat memancing banyak tamu untuk datang.

ApaSebabnya?
Banyak diantara mereka yang merupakan siswa yang masih aktif di sekolah. Di sekolah kelakuan mereka kadang tidak berbeda dengan siswa lainnya. Jika demikian, mengapa merekaberbuatsepertiitu?

Dr. Ali Akbar mengemukakan beberapa alasan mengapa wanita menjadi pelacur, antara lain : pertama, tekanan ekonomi sehingga terpaksa menjual diri sendiri dengan jalan dan cara yang paling mudah. Kedua, tidak puas dengan apa yang ada, sebab tidak dapat membeli barang-barang yang bagus dan mahal. Ketiga, karena sakit hati akibat telah dinodai kekasihnya dan ditingggalkan begitu saja. Keempat, karena tidak puas dengan kehidupanseksualnyaatauhiperseksual.

Sedangkan Kartini Kartono menyebutkan bahwa salah satu penyebab pelacuran karena pada masa kanak-kanak pernah melakukan hubungan seks atau suka melakukan hubungan seks sebelum perkawinan, sekedar menikmati masa indah pada masa muda. Atau sebagai simbol keberanian telah menjalani dunia seks secara nyata. Selanjutya terbiasa melakukan hubungan seks secara bebas dengan banyak pemuda sebaya, kemudian terperosok ke dalam dunia pelacuran. Penyebab lainnya, karena termakan bujuk rayu kaum laki-laki, kehidupan keluarga yang broken home, anak gadis yang memberontak terhadap otoritas orang tua yang menekankan banyak hal yang tabu dan peraturan seks, dan ajakan teman-teman yang telahterjundahulukedalamduniapelacuran.

ProsesPenyadaran

Jika sudah diketahui penyebabnya, apakah kita dapat menghentikan atau menyadarkan mereka. Memberikan pengertian bahwa perbuatan mereka adalah hal yang dilarang tidak saja menurut agama tetapi juga menurut norma sosial yang ada di masyarakat. Namun kadang yang membuat mereka sulit untuk berubah adalah sikap masyarakat itu sendiri. Karena telah menggunakan seragam sekolah untuk kepentingan sendiri, sepertinya masyarakat sangat sulit menerima sadarnya mereka (mungkin itu juga sebagai hukuman). Tapi bagaimanapun juga, sebagai manusia kita patut mendukung dan memberikan kesadaran agar mereka berubah dan mengembalikan seragam sekolah sebagaimana mestinya.

Pepatah menyebutkan, "lebih baik terlambat dari pada tidak sama sekali". Kiranya patut untuk menjadi bahan pemikiran bagi proses penyadaran mereka. Dewasa ini banyak lembaga-lembaga sosial kemasyarakatan yang peduli dengan mereka. Salah satunya adalah Komnas Perlindungan Anak, yang secara konsens membela hak-hak anak dan memberikan konsultasi dan advokasi bagai permasalahan anak. Termasuk diantaranya tentang pelacuran berseragam sekolah. Disaat pemerintah disibukkan dengan berbagai persoalan lain di negeri ini, keberadaan Komnas Perlindungan Anak ini menjadi sangat penting. Patut didukung usahamerekadalamrangkamenyelamatkangenerasibangsaini.

Benteng utama adalah orang tua dan keluarga. Disinilah anak bersosialisasi sebelum berinteraksi dengan lingkungannya (masyarakat). Namun belum cukup jika hanya itu, lingkungan ynag sehat dan terbebas dari pelacuran jika menjadi faktor penentu. Terlebih sekolah yang diharapkan mampu memberikan pendidikan bagi kedewasaannya kelak mampu menjalankan fungsinya secara benar maka kita dapat tenang bahwa anak kita terhindardaripelacuran.

Orang tua dan Kelurga hendaknya mewaspadai anak jika mempunyai keinginan untuk selalu keluar main dengan temannya tampa alasan yang rasional. Juga jika dikamarnya ditemukan barang-barang mewah ataupun mahal yang tidak kita berikan patut untuk dipertanyakan. Bertanya dengan penuh kasih tampa langsung menuduh yang tidak-tidak. Patut juga ditanya jika si anak pergi sekolah ataupun keluar, ditanya dengan siapa dan rencanya kemana saja. Hal-hal kecil ini setidaknya menjukkan perhatian kita, juga menjadi bahanpencarianjikaadahal-halyangterjadidiluarkebiasaan.

Apalah artinya uang saku anak yang banyak tetapi mereka kurang perhatian. Orangtua sibuk dengan urusan masing-masing, si anak sibuk dengan temannya. Tak ada komunikasi yang terjalin secara intens, akhirnya rumah hanya menjadi tempat tidur istirahat malam.

Menyerahkan anak sepenuhnya kepada sekolah juga bukan tindakan yang tepat. Perlu diingat bahwa intensitas anak di sekolah hanya berlangsung selama 7-8 jam sehari sedangkan sisi waktunya adalah dengan keluarga. Artinya, sekolah tidak dapat menjamin bahwa kelakuan anak anda akan selalu baik.

Sigmund Freud menyebutkan bahwa titik tolak dari kekerasan yang dilakukan seseorang berasal dari keluarga (termasuk segala bentuk penyimpangan). Karenanya, jadikanlah keluarga anda sebagai keluarga yang menjadi teladan bagi anak-anaknya, semoga.

Tri \ayat Ariwibowo, S.Pd
Guru SMKN 3 dan SMAN 3 Banjarbaru
Topik: Sisi Lain Pendidikan
Tanggal: 19 April 2008
Email : aryasadewa@yahoo.com Jud



Komentar ;
Memang tdak bisa dipungkiri bahwa tindakan prostitusi atau pelacuran yang berkedok seragam sekolah adalah benar adanya. Hal ini semakin dikuatkan dengan penelitian yang dilakukan para ahli dibidang psikologi atau kriminologi mengenai kasus fenomena ini. Ditemukanya modus beserta bukti-bukti tindakan mereka yang dengan sengaja memanfaatkan identitas seragam sekolahnya demi kepentingan mereka sendiri tentulah hal ini membuat citra dunia pendidikan Indonesia semakin tercoreng. Ditengah carut marutnya problema pendidikan yang tengah melanda negeri ini, persoalan pelacuran berseragam sekolah semakin menambah panjang deret permasalahan pendidikan yang sulit dalam pemecahanya.
Seperti yang telah kita ketahui bersama bahwa masa remaja merupakan masa dimana seseorang mencari jati dirinya. Remaja mulai mencari tahu identitas mengenai siapa dirinya. Dalam proses pencarianya pun tak heran jika remaja mengalami perubahan yang sangat cepat. Hal ini disebabkan karena emosi remaja tidaklah tetap sehingga sangat besar peluangnya bagi mereka untuk terjerumus pada hal-hal negative seperti pelacuran ini. Banyak sekali penyebab bagi remaju masuk dalam dunia pelacuran, tapi yang menurut saya paling besar pengaruhnya adalah karena tekanan ekonomi keluarga kerena tidak mampu memenuhi kebutuhanya ( kebutuhan akan barang mewah ) dan juga dorongan bujuk rayu teman sepergaulanya untuik terjun ke dunia itu. Apalagi ketika remaja yang masih sekolah otomatis keinginanya untuk bisa seperti kebanyakan temanya pun semakin besar dan akhirnya mereka akan dengan rela menyerahkan keperawananya guna mendapatkan sesuatu yang mereka inginkan.
Kasus pelcuran berseragam sekola ini harusnya juga menjadi perhatian serius pemerintah, praktisi pendidikan maupun masyarakat agar bisa saling kerjasama menyelesaikan masalah ini. Karena apabila tidak segera diatasi maka tindakan mereka akan semakin “dilegalkan” di balik seragam sekolahnya itu.
Di tengah derasnya perkembangan arus globalisasi seperti saat ini sangatlah besar peluangnya bagi remaja untuk terjun ke arah pergaulan yang tidak baik. Ditambah lagi dengan perkembangan teknologi dan media komunikasi saat ini. Bisa-bisa remaja akan termakan oleh jebakan itu jika remaja salah dalam penggunaanya. Perilaku dan sikap remaja amatlah dipengaruhi lingkungan pergaulanya. Ada ketergantungan pada diri remaja untuk berkekompok dengan teman sepergaulanya. Sehingga bisa dengan mudah remaja akan terpengaruh budaya dalam kelompoknya, Dengan kondisi ini sebaiknya pelajar atau mahasiswa mampu memilih teman yang baik. Teman yang bisa mengarahkan pada kreartfitas hal-hal positif. Remaja harus mampu membentengi dirinya sendiri terhadap gempuran pengaruh-pengaruh negatif. Tentunya dengan landasan nilai dan prinsip yang kuat. Selain itu kelebihan energi yang ada pada diri remaju haruslah di arahkan pada hal-hal positif yang berguna bagi dirinya kelak. Keinginan akan pemenuhan kebutuhan-kebutuhanya pun harus diarahkan oleh keluarga agar remaja mampu mempu membentengi dirinya pada perbuatan pelacuran itu.
Disamping itu sekolah sebagai tempat bagi si remaja untuk menuntut ilmu harusnya mampu memberikan perlindungan kepada anak didiknya. Sekolah sebaiknya tidak hanya mengedepankan kompetensi akan pengusaan ilmu pengetahuan melainkan sekolah harus mampu memberikan pemahaman nilai-nilai moral, kebaikan, budi pekerti dan juga etika pada remaja. Dan juga dengan berbagai wahana yang ada di sekolah diharapkan remaja mampu mengarahkan energi siswa didiknya pada prestasi maupun dalam wujud krearifitas lain. Sekolah juga harus lebih memperhatikan kondisi peserta didik. Seperti salah satunya lewat perantara guru BK ( Bimbingan Konseling ). Dengan demikian diharapakan kasus pelacuran yang berlindung dibalik seragam sekolah tidak terjadi lagi.
Dan yang paling penting dari itu semua yaitu keberfngsian keluarga dalam mendidik, mengajarkan, memberikan kasih sayang dan perlindungan kepada anak. Dalam menyikapi kasus seperti ini keluarga haruslah mampu menunjukan fungsinya dengan maksimal kepada anak. Karana bagaimanapun juga keluarga memegang peranan penting bagi tumbuh kembangnya si anak. Fungsi keluarga sangatlah strategis karena keluarga merupakan tempat pertma kali bagi anak dalam melakukan sosialisasi dalam hidupnya. Lewat keluarga si anak pertama kali belajar nilai-nilai sehingga apabila keluarga mengajarkan sesuatu yang salah maka akan berdampak kurang baik bagi perkembangan si anak. Ketika si anak memasuki masa remaja, keluarga harus memberikan pendidikan, pengawasan, kasih sayang, dan perlindungan yang lebih kepada anak. Tetapi bukan dengan mengekang kebebasan “ over protektif “ bagi si anak. Melainkan orang tua harus mampu menjadi sahabat bagi anak. Sehingga dengan orang tua memposisikan seperti itu setiap kali anak menghadapi permasalahan maka anak dan orang tua bisa menjadi partner yang baik dalam menyelesaikan masalah. Atau dengan kata lain fungsi afeksi keluarga harus dijalankan keluarga dengan maksimal. Pemahaman anak akan nilai-nilai kegamaan juga amatlah penting ditanamkan pada pribadi anak. Dengan landasan agama yang kuat anak menjadi tidak mudah terpengaruh hal-hal negatif. Apalagi pada saat remaja, tentulah landasan agama amatlah penting untuk membentengi emosi remaja yang labil.

Perilaku Menyimpang Masyarakat Kumuh

Oleh :
Ghufronudin
Mahasiswa Pendidikan Sosiologi Antropologi
Universitas Sebelas Maret Surakarta

Penduduk yang menempati pemukiman kumuh di DKI Jakarta adalah kaum migran yang pada umumnya berpenghasilan rendah yang tidak dapat mencukupi kebutuhan hidupnya di daerah asal. Dari keadaan ekonomi yang buruk, masyarakat desa terdorong untuk datang kekota-kota terdekat dengan harapan akan mendapatkan pekerjaan dalam rangka usaha melakukan perbaikan kualitas hidupnya. Kecepatan migrasi ini juga didorong oleh pembangunan kota dan sekitarnya—seperti perluasan kawasan industri dan perdagangan, merupakan daya tarik tersendiri bagi penduduk desa dan tepian kota untuk bekerja di kota. Setelah mereka sampai di kota, ternyata mereka pada umumnya tidak cukup memiliki kamampuan untuk mendapatkan pekerjaan yang layak, disebabkan kurangnya keterampilan, tanpa modal usaha, tempat tinggal tak menentu, rendahnya penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, rendahnya daya adaptasi sosial ekonomi dan pola kehidupan kota. Kondisi yang serba terlanjur, kekurangan dan semakin memprihatinkan itu mendorong para pendatang tersebut untuk hidup seadanya, termasuk tempat tinggal yang tidak memenuhi syarat kesehatan.
Sasaran tempat tinggal para pendatang pada umumnya di pusat-pusat perdagangan, seperti pasar kota, perkampungan pinggir kota, dan disekitar bantaran sungai kota. Kepadatan penduduk di daerah-daerah ini cenderung semakin meningkat dengan berbagai latar belakang sosial, ekonomi, budaya dan asal daerah. Perhatian utama pada penghuni permukiman ini adalah kerja keras mencari nafkah atau hanya sekedar memenuhi kebutuhan sehari-hari agar tetap bertahan hidup, dan bahkan tidak sedikit warga setempat yang menjadi pengangguran. Sehingga tanggungjawab terhadap disiplin lingkungan, norma sosial dan hukum, kesehatan, solidaritas sosial, tolong menolong, menjadi terabaikan dan kurang diperhatikan.
Oleh karena para pemukim pada umumnya terdiri dari golongan-golongan yang tidak berhasil mencapai kehidupan yang layak, maka tidak sedikit menjadi pengangguran, gelandangan, pengemis, yang sangat rentan terhadap terjadinya perilaku menyimpang dan berbagai tindak kejahatan, baik antar penghuni itu sendiri maupun terhadap masyarakat lingkungan sekitanya. Kondisi kehidupan yang sedang mengalami benturan antara perkembangan teknologi dengan keterbatasan potensi sumber daya yang tersedia, juga turut membuka celah timbulnya perilaku menyimpang dan tindak kejahatan dari para penghuni pemukiman kumuh tersebut. Kecenderungan terjadinya perilaku menyimpang (deviant behaviour) ini juga diperkuat oleh pola kehidupan kota yang lebih mementingkan diri sendiri atau kelompokya yang acapkali bertentangan dengan nilai-nilai moral dan norma-norma sosial dalam masyarakat.
Perilaku menyimpang pada umumnya sering dijumpai pada permukiman kumuh adalah perilaku yang bertentangan dengan norma-norma sosial, tradisi dan kelaziman yang berlaku sebagaimana kehendak sebagian besar anggota masyarakat. Wujud perilaku menyimpang di permukiman kumuh ini berupa perbuatan tidak disiplin lingkungan seperti membuang sampah dan kotoran di sembarang tempat. Kecuali itu, juga termasuk perbuatan menghindari pajak, tidak memiliki KTP dan menghindar dari kegiatan-kegiatan kemasyarakatan, seperti gotong-royong dan kegiatan sosial lainnya. Bagi kalangan remaja dan pengangguran, biasanya penyimpangan perilakunya berupa mabuk-mabukan, minum obat terlarang, pelacuran, adu ayam, bercumbu di depan umum, memutar blue film, begadang dan berjoget di pinggir jalan dengan musik keras sampai pagi, mencorat-coret tembok/bangunan fasilitas umum, dan lain-lain. Akibat lebih lanjut perilaku menyimpang tersebut bisa mengarah kepada tindakan kejahatan (kriminal) seperti pencurian, pemerkosaan, penipuan, penodongan, pembunuhan, pengrusakan fasilitas umum, perkelahian, melakukan pungutan liar, mencopet dan perbuatan kekerasan lainnya.
Seperti telah diuraikan pada Latar Belakang, bahwa kaum migran yang bermukim di kota memiliki aktivitas ekonomi yang berbeda dari aktivitas pada waktu mereka masih di daerah asalnya, keadaan seperti itu cenderung menimbulkan masalah-masalah baru yang menyangkut: (a) masalah persediaan ruang yang semakin terbatas terutama masalah permukiman untuk golongan ekonomi lemah dan masalah penyediaan lapangan pekerjaan di daerah perkotaan sebagai salah satu faktor penyebab timbulnya perilaku menyimpang, (b) masalah adanya kekaburan norma pada masyarakat migran di perkotaan dan adaptasi penduduk desa di kota, (c) masalah perilaku menyimpang sebagai akibat dari adanya kekaburan atau ketiadaan norma pada masyarakat migran di perkotaan. Disamping itu juga pesatnya pertumbuhan penduduk kota dan lapangan pekerjaan di wilayah perkotaan mengakibatkan semakin banyaknya pertumbuhan pemukiman-pemukiman kumuh yang menyertainya dan menghiasi areal perkotaan tanpa penataan yang berarti.
Penataan permukiman sebagai satu aspek dalam proses pembangunan, belum menampakkan hasil yang memuaskan dan belum mewujudkan suatu kondisi pemerataan penataan pemukiman yang seimbang. Pembebasan areal perkampungan kumuh dibeberapa bagian kota, pada kenyataannya hanya memberi keuntungan bagi sekelompok anggota masyarakat tertentu, yaitu kelompok menengah ke atas.
Berdasarkan hal tersebut di atas, seberapa jauh pengaruh lingkungan permukiman kumuh terhadap perilaku penghuninya, juga telah diteliti oleh Clinard, Abbot dan Paul Bell di Uganda-Afrika. Kondisi pemukiman kumuh—atau yang disebut dalam penelitian itu dengan slum area, berpengaruh pada tingginya angka kejahatan, hal itu antara lain disebabkan karena kurangnya fasilitas di permukiman kumuh, listrik, drainase, tempat buang sampah, WC yang teratur, yang semuanya jauh dari layak.
Akibat lain dari minimnya sarana dan prasarana tersebut menimbulkan pula berbagai perilaku menyimpang, dan bahkan kejahatan sebagai problem sosial seperti pencurian, pekelahian, keapatisan, membuang kotoran disembarang tempat dan sebagainya. Sepanjang tidak tertanggulanginya masalah-masalah pada permukiman kumuh dengan sosial approach-nya, sepanjang itu pula perilaku menyimpang dan kejahatan akan terus terjadi dan meningkat. Temuan Abbot juga menjelaskan bahwa mabuk-mabukan, pelacuran, kenakalan anak dan remaja dan bentuk-bentuk lain penyakit masyarakat secara otomatis melekat pada ciri-ciri lingkungan permukiman kumuh (Clinard dan Abbott, 1973).
Sumber : Dikuitp dari artikel Zuryawan Isvandiar Zoebir
Analisis
Diwilayah perkotaan dampak migrasi merupakan masalah pokok yang harus dihadapi, oleh karena akibat-akibatnya seperti “urbanisasi sebagai suatu cara hidup” (pemusatan penduduk di dalam kota dianggap sebagai suatu cara hidup individu, serta interaksi antara individu). Lahirnya corak hidup kaum urban (individu yang ekstrim, penuh perhitungan dan sifat bersaing, mementingkan penampilan luar, menekankan hal-hal yang bersifat pribadi, sifat acuh tak acuh dan sifat agresifitas warga kota). Pertentangan-pertentangan disekitar konsumsi kolektif, perampasan tanah kota atau pengusiran-pengusiran penghuni-penghuni liar, konflik budaya dan lain sebagainya. Hal-hal tersebut tidak dijumpai di daerah perdesaan. Sifat khas penuh gotong royong, tolong menolong antar warga dan ramah tamah dalam ikatan pedesaan yang kental, sangat bertolak belakang dengan yang dijumpai di daerah perkotaan. Benturan-benturan inilah yang menyebabkan penduduk pendatang merasa asing dan frustrasi disamping mereka harus terus mempertahankan hidup, dilain pihak mereka merasa tidak mampu menghadapi persaingan yang keras untuk hidup di perkotaan.
Penduduk kota yang semakin membengkak ini sudah barang tentu akan menyebabkan timbulnya berbagai kerawanan sosial di perkotaan. Para migran dari desa ketika pertama kali datang ke kota akan mengalami kesulitan-kesulitan, baik dalam memperoleh prasarana hidup di kota, maupun bebab psikologis yang dihadapi terhadap lingkungan perkotaan. Terjadinya benturan dari kebiasaan lama ke kebiasaan baru yang pada akhirnya menimbulkan krisis identitas yang merupakan manifestasi dari ketiadaan norma (anomie), yakni kesenjangan antara ditinggalkannya norma tradisional yang mereka hayati sewaktu tinggal di desa dengan diterimanya norma baru di kota. Keadaan ini akan memudahkan para migran melakukan perbuatan yang melanggar norma (perilaku menyimpang) ataupun terjerumus ke dalam tindakan-tindakan kejahatan
Ada berbagai informasi yang memungkinkan kita mendapatkan pemahaman tentang tindakan kriminal sebagai bagian dari perilaku menyimpang (deviance), yaitu suatu perilaku yang tidak disukai, disetujui, atau tidak dikehendaki oleh sebagian masyarakat. Artinya, perilaku menyimpang merupakan suatu tindakan yang tidak sesuai dengan apa yang diharapkan oleh norma-norma sosial yang berlaku didalam masyarakat. Timbulnya perilaku menyimpang tidak hanya disebabkan oleh faktor individu saja, tetapi juga dipengaruhi oleh faktor-faktor lain, seperti faktor lingkungan sosial ataupun faktor masyarakat. Oleh karenanya, perilaku menyimpang bukan semata-mata produk pribadi seseorang, tetapi juga dibentuk dari hubungan dengan masyarakat karena adanya pergeseran dan perkembangan masyarakat dari situasi terentu ke situasi yang lain, terutama akibat modernisasi dan derasnya kemajuan informasi pada saat ini. Disamping itu, proses sosial perilaku menyimpang senantiasa berdampingan dengan perkembangan masyarakat dan kebudayaan, ini berarti didalamnya terdapat benturan-benturan nilai, baik benturan nilai-nilai kemasyarakatan maupun benturan nilai-nilai kebudayaan. Benturan nilai-nilai kemasyarakatan adalah kondisi yang tidak seimbang antara interpertasi masyarakat tentang standar tata nilai yang sedang berlaku. Sedangkan benturan nilai-nilai kebudayaan adalah kondisi yang tidak seimbang antara perkembangan kebudayaan yang bersifat material dengan kebudayaan yang bersifat moral. Misalnya, antara perkembangan teknologi dengan kemampuan manusia dalam memanfaatkannya demi kesejahteraan manusia itu sendiri. Kalau tidak, justru teknologi itu yang akan mempengaruhi manusia. Kalau sudah demikian, maka tidak mustahil akan timbul berbagai penyimpangan yang akhirnya dapat menimbulkan kejahatan.
Disamping itu pula pada umumnya para pendatang baru itu adalah orang-orang yang tidak mampu dalam segi ekonomi (ekonomi lemah). Jika pada daerah yang baru (kota) mereka tidak cukup mempunyai bekal keterampilan dan kesanggupan untuk berjuang dalam berbagai kekerasan, persaingan hidup, maka kesukaran-kesukaran di dalam mencukupi kebutuhan hidupnya tidak bisa diatasi, sehingga dapat menimbulkan perilaku menyimpang dan bahkan kejahatan. Latar belakang lain yang erat kaitannya dengan tumbuhnya permukiman kumuh adalah akibat dari ledakan penduduk di kota-kota besar, baik karena urbanisasi maupun karena kelahiran yang tidak terkendali. Lebih lanjut, hal ini mengakibatkan ketidakseimbangan antara pertambahan penduduk dengan kemampuan pemerintah untuk menyediakan permukiman-permukiman baru, sehingga para pendatang akan mencari alternatif tinggal di permukiman kumuh untuk mempertahankan kehidupan di kota.

Analisis Faktor Penyebab Perceraian Di Desa Tumang, Cepogo, Boyolali

oleh :
Ghufronudin
Mahasiswa Pendidikan Sosiologi Antropologi
Universitas Sebelas Maret Surakarta


Keluarga merupakan suatu kelompok primer yang dibentuk atas dasar hubungan cinta kasih antara suami – istri yang memutuskan untuk hidup bersama dalam sebuah ikatan keluarga lewat perkawinan ( pernikahan ). Secara mendasar keluarga terdiri atas suami, istri dan anak. Masing – masing mempunyai peranan dan status sosial yang berbeda baik di dalam keluarga maupun dalam masyarakat. Dalam keluarga terdapat sistem jaringan interaksi yang lebih bersifat interpersonal artinya masing – masing anggota keluarga dimungkinkan mempunyai intensitas hubungan satu sama lain yakni antara ayah dan ibu, ayah dan anak, ibu dan anak maupun antara anak dengan anak.
Seperti telah dijelaskan di atas bahwa keluarga terbentuk atas dasar hubungan cinta kasih antara suami – istri yang telah berkomitmen membangun sebuah keluarga lewat pernikahan. Pada awalnya suami – istri berkomitmen untuk hidup bersama dalam ikatan perkawinan dengan harapan mendapatkan kebahagiaan yang abadi. Tetapi yang namanya kebagiaan tidak akan datang selamanya. Perjalanan hidup sebuah keluarga pasti diwarnai dinamika kehidupan dalam setiap episodenya. Ada saatnya sebuah keluarga hidup secara bahagia dengan segala kecukupan dan kehormonisan yang terjalin antar anggota keluarga. Tapi ada saatnya juga sebuah keluarga mengalami keterjeratan dalam masalah – masalah keluarga. Sumber masalahnya pun bisa datang dari internal keluarga itu sendiri maupun dari faktor ekternal seperti masyarakat.
Disorganisasi Keluarga ( Perceraian )
Salah satu masalah yang sering dialami keluarga sekarang ini adalah masalah “Disorganisasi Keluarga” yaitu merupakan suatu bentuk kelemahan – kelemahan, ketidaksesuaian (mal adjustment) atau putusnya jalinan ikatan anggota – anggota dari kelompok bersama. Disorganisasi keluarga dapat terjadi tidak hanya karena ketegangan – ketegangan antara suami dan istri, tetapi juga antara orang tua dan anak serta antara saudara kandung. Ketegangan antara suami dan istri adalah lebih serius daripada daripada ketegangan yang terjadi antara orang tua dan anak. Walaupun ketegangan antara anak dan orang tua juga merupakan persoalan serius tetapi meskipun demikian apabila terjadi ketegangan antara anak dan orang tua yang berujung pada penolakan tetap ikatan keluarga masih bisa berlangsung.
Hubungan perkawinan antara suami dan istri merupakan ikatan sentral persatuan keluarga dalam masyarakat. Apabila ikatan ini pecah maka keluarga juga akan pecah. Sedemikian vitalnya peranan ikatan hubungan antara suami dan istri. Keduanya saling memegang fungsi dan peranan masing – masing dalam menjaga eksistensi sebuah keluarga. Sehingga masa depan kelangsungan sebuah keluarga amatlah ditentukan oleh peranan hubungan antara suami dan istri.
Faktor Dominan
Sekarang ini masalah disorganisasi keluarga ( perceraian ) memang merupakan masalah yang sudah dinggap masyarakat sebagai masalah yang biasa. Dalam artian masyarakat kini menganggap perceraian sebagai hal yang wajar ( lumrah ) sebagai suatu solusi atas kemelut yang terjadi. Terlebih pada masyarakat modern, kini dengan adanya pendidikan mampu memberikan ruang yang sangat besar untuk istri mampu mengembangkan karirnya seperti suaminya. Bahkan tidak menutup kemungkinan untuk istri bisa menduduki peranan yang lebih tinggi dari pada suami. Hal demikian yang akhirnya memicu adanya konflik peranan antara pasangan suami – istri yang seringkali berujung pada perceraian.
Berbeda dengan faktor penyebab perceraian pada tipe masyarakat tradisional. Pada masyarakat tipe ini salah satu faktor dominan penyebab perceraian adalah faktor internal keluarga yang tidak ada sangkut pautnya dengan konflik peranan antara suami – istri. Singkatnya adalah faktor penyebab perceraian pada tipe masyarakat tradisional belumlah sekompleks pada masyarakat modern. Seperti yang terjadi di daerah penulis yakni di Desa Tumang Kecamatan Cepogo Kabupaten Boyolali. Di daerah itu salah sati faktor dominan penyebab perceraian adalah karena adanya suatu ketidakcocokan antara suami dan istri sebagai salah satu bentuk akibat adanya paksaan dari orang tua pada anak untuk segera menikah dengan calon yang sudah ditentukan oleh orang tuanya dahulu ketika mereka belum menikah. Bersumber dari data Bp. Bambang selaku Modin ( orang yang biasa mengurus perihal pernikahan dan perceraian pada suatu desa ) di desa penulis yakni antara tahun 2005 – 2009 faktor utama penyebab perceraian adalah karena adanya paksaan dari orang tua kepada anak untuk segera menikah pada calon yang sudah terlebih dahulu ditentukan oleh orang tua. Perincianya yaitu tahun 2005 ada kasus Talak satu dari suami kepada istri karena suami dipaksa orang tuanya menikah dengan calon istri yang ditentukan orang tuanya. Sehingga sang suami di tengah perjalanan kehidupan keluarganya merasa tidak bisa cocok dengan istrinya tersebut yang pada akhirnya perceraian menjadi solusi atas masalah mereka.
Pada tahun 2006 ada kasus satu perceraian dan kasus talak. Sama dengan kasus talak yang terjadi pada tahun 2005, di tahun 2006 inipun penyebabnya sama yakni suami dipaksa menikah dengan isrti pilihan orang tuanya. Karena dipaksa akhirnya laki – laki mersa tidk menemukan kecocokan dengan istrinya sehingga laki – laki memutuskan menjatuhkan talak kepada istri. Sedangkan kasus perceraianya disebabkan karena suami meninggalkan istri dan anak – anaknya selama berbulan – bulan tanpa ada kejelasan hingga kini. Pada tahun 2007 ada satu kasus perceraian yang disebabkan karena faktor ekonomi. Dimana laki – laki yang posisinya ikut keluarga perempuan karena alas an ekonomi keluarga perempuan menyebabkan laki – laki tidak betah sehingga akhirnya laki – laki untuk meminta cerai pada istri. Pada tahun 2008, juga terjadi satu kasus perceraian dimana faktornya adalah laki – laki sering pulang larut malam bahkan seringkali tidak pulang ke rumah. Karena faktor ini perempuan menggugat cerai laki – laki. Sedangkan pada tahun 2009 terjadi kasus talak berjumlah satu kasus dimana faktor peneyababnya adalah laki – laki dipaksa menikah oleh orang tua laki – laki dengan perempuan yang telah ditentukan orang tuanya. Di tengah perjalanan hidup berumah tangga laki – laki merasa sudah tidak memiliki kecocokan lagi dengan perempuan sehingga laki – laki menjatuhkan talak kepada perempuan. Masih di tahun 2009, selain kasus talak juga terjadi satu kasus perceraian dimana faktor penyebabnya adalah laki – laki yang posisinya ikut bertempat tinggal dirumah perempuan merasa tidak betah untuk tinggal disitu lagi karena sering terjadi cekcok dengan mertua yang disebabkan mertua sering mencampuri urusan pribadi keluarga mereka.
Berdasarkan data di atas maka dapat dianalisis bahwa faktor penyebab disorganisasi keluarga ( talak / cerai ) mayoritas disebabkan oleh adanya faktor paksaan orang tua yang memaksa anak mereka menikah dengan calon yang telah ditentukan oleh orang tua. Adanya kebijakan dari orang tua yang demikian memang sangat berpengaruh terhadap masa depan kehidupan keluarga sang anak. Karena memang segala sesuatu yang berawal dari paksaan maka hasilnya tidak akan baik. Dalam sosiologi keluarga menjelaskan bahwa justru karena hal inilah yang pada nantinya akan memicu timbulnya ketegangan – ketegangan hubungan antara suami dan istri dan juga pada hubungan dengan pihak keluarga. Dari akumulasi ketegangan – ketegangan ini pada akhirnya memicu konflik yang terjadi antara suami – istri maupun keluarga. Sehingga pada akhirnya perceraian menjadi solusi ( jalan ) atas masalah itu.
Faktor penyebab lainya yaitu faktor kurangnya komunikasi yang efektif antara suami – istri sehingga keduanya tidak terjalin hubungan yang tidak harmonis. Seperti pada kasus perceraian pad tahun 2006 dan 2008 dimana faktor penyebabnya adalah laki – laki sering pulang larut malam bahkan tidak pulang kerumah sampai berbulan – bulan lamanya. Dari hal ini maka dapat diketahui bahwa kurangnya komunikasi yang efektif dari suami – istri sangat memicu munculnya disorganisasi keluarga. Disamping berdampak pada keluarga pribadi maka lama kelamaan justru akan berdampak pada lingkup keluarga yang lebih luas lagi. Sehingga hubungan komunikasi efektif sangat menentukan keksistensian sebuah bangunan keluarga itu sendiri.
Sumber :
Informasi dari bapak Bambang ( Modin ) Desa Tumang.
H, Khairuddin, 1985. Sosiologi Keluarga. Nur Cahaya. Yogyakarta.

“Pengaruh Perkembangan Teknologi dan Ekonomi Terhadap Keluarga”

oleh :

Ghufronudin

Mahasiswa Pendidikan Sosiologi - Antropologi smt IV

Universitas Sebelas Maret Surakarta


Globalisasi” sebuah istilah yang telah akrab di teliga kita saat ini. Mendengar kata ini pikiran kita langsung tertuju pada sebuah perkembangan, kemajuan maupun perkembangan. Istilah globalisasi adalah sebuah istilah yang memiliki hubungan dengan peningkatan keterkaitan dan ketergantungan antar bangsa dan antar manusia seluruh dunia melalui perdagangan, investasi, perjalanan, budaya populer dan bentuk – bentuk interaksi yang lain sehingga batas – batas suatu negara menjadi bias. Globalisasi dapat membawa berbagai perubahan dalam segala bidang seperti budaya, ekonomi, sosial, politik, ideologi dan lain sebagainya. Disatu sisi, globalisasi membawa konsekuensi positif dan di sisi lain juga membawa sisi negatif.

Dalam bidang teknologi misalnya, bermunculan berbagai alat – alat canggih bertenaga mesin yang menggantikan tenaga manusia. Semakin lama sesuai dengan perkembangan dan penerapan teknik baru tingkat tinggi telah mampu membatasi keluarga dari fungsi – fungsi ekonominya dan sangat mempengaruhi seluruh ciri - ciri sistem sosial sebuah keluarga. Masih banyak dampak di bidang lain yang timbul akibat globalisasi itu. Secara garis besar dengan adanya globalisasi dapat menimbulkan suatu transformasi bentuk baru terhadap bentuk yang sudah ada.


Perubahan Status Wanita ( Istri )

Adanya perkembangan teknologi dan ekonomi membawa konsekuensi terhadap adanya penambahan peran baru bagi wanita (istri). Dimana akibat dari situasi ini adalah semakin bertambahnya jumlah wanita yang bekerja di pabrik – pabrik, perusahaan, maupun di kantor – kantor sebagai ladang penghasilan mereka. Perubahan ini telah menghancurkan paham kuno tentang “laki – laki harus bekerja dan wanita harus di dapur“. Juga pepatah jawa yang mengatakan bahwa “tugas istri hanyalah macak, manak dan masak“. Paham – paham seperti ini kini sudah tidak berlaku lagi dalam tatanan kehidupan masyarakat kita. Umumnya baik di pedesaan maupun di perkotaan suami dan istri sudah sama – sama bekerja. Baik itu didasarkan pada tuntutan sosial maupun karena kebutuhan ekonomi keluarga. Laki – laki (suami) yang dulunya sebagai satu – satunya berperan sebagai tulang punggung keluarga yang bertugas untuk mencari nafkah bagi keluarga, kini tidak hanya suami yang mempunyai peran seperti itu. Wanita (istri) juga berperan sebagai seorang pencari nafkah bagi keluarga sama dengan suami. Fenomena seperti ini tidak hanya berlaku bagi kehidupan masyarakat perkotaan saja yang memang secara sosiologis tatanan masyarakatnya sudah mencerminkan tatanan masyarakat perindustrian. Dalam kehidupan masyarakat pedeesaan pun istri juga memainkan peran sama seperti suami sebagai pencari nafkah. Tapi semua itu lebih didasrakan pada segi ekonomi tidak berdasar atas tuntutan sosial seperti dalam masyarakat perkotaan.


Wanita Karier

Perubahan ini menyebabkan para istri dan suami mempunyai derjat kebebasan yang sama dalam konteks “pembagian kerja“ antara suami dan istri dalam keluarga. Saat ini pekerjaan istri telah terspesialisasikan seperti layaknya kaum laki – laki dan tidak lagi dicurahkan pada tugas – tugas rumah tangga saja. Kemudian muncul istilah “wanita karier“ dimana spesialisasi pekerjaan profesional tertentu melekat pada wanita (istri) yang selain memiliki peran sebagai ibu juga harus memainkan peranya dalam lingkup keprofesionalan pekerjaan itu. Dengan keadaan ini maka timbul konsekuensi lain bagi keluarga. Seperti berkurangya waktu bagi wanita sebagai ibu dalam mendidik mendidik anak – anaknya yang sudah mulai diabaikan. Sebagai solusinya maka pendidikan dan perawatan anak diserahkan kepada Baby Sisters. Karena kesibukan orang tua dengan pekerjaanya itulah yang menyebabkan mereka menyerahkan kepada Baby Sisters itu. Melihat kondisi ini jelas anak lah yang menjadi korbanya. Perhatian dan kasih sayang orang tua menjadi tidak mereka dapatkan pada saat yang sebenarnya sangat mereka butuhkan. Akibatnya anak sulit untuk membangun kedekatan emosional dengan ibunya sendiri.

Secara Ekonomi

Fungsi ekonomi keluarga pada dekade akhir – akhir ini telah mengalami modifikasi dan proses tersebut rata – rata akan berlangsung dengan cepat, Dahulu pembuatan barang – barang termasuk segala kebutuhan keluarga dilakukan semuanya oleh keluarga. Tetapi sekarang dengan adanya pabrik – pabrik telah mengambil alih semua aktivitas – aktivitas itu. Dengan mudahnya sekarang tanpa harus melakukan kerja yang berarti segala kebutuhan mudah untuk dipenuhi. Perubahan – perubahan yamg nyata jelas terlihat dalam aktivitas orang dirumah adalah kini keluarga sudah jarang menggunakan alat – alat masaknya, melainkan banyak dari mereka yang membeli langsung di toko – toko luar. Walaupun tidak secara keseluruhan demikian tetapi paling tidak ada kecenderungan yang seperti itu.

Dengan demikian secara ekomoni, perubahan status pada wanita telah memberi pengaruh pada keluarga sebagai unit ekonomi. Dimana wanita yang juga berperan sebagai seorang pencari nafkah memberikan berbagai konsekuensi dan kesempatan untuk memegang peranan penting dalam ekonomi rumah tangga yang dengan penghasilanya mampu menggerakan ekonomi keluarga. Disisi lain adanya kesempatan bagi wanita untuk melakukan pekerjaan membawa konsekuensi bagi wanita untuk mendaptkan “kekuasaan sosial” dalam keluarga. Dimana dominasi kekuasaan keluarga tidak hanya menjadi milik suami.


Dampak Teknologi

Seperti telah dijelaskan diatas bahwa kemajuan teknologi membawa berbagai dampak dalam berbagai bidang. Berkembangnya kebudayaan materi seperti tingkat penemuan dan inovasi teknologi dan meluasnya industrialisasi merupakan faktor pendorong untuk perubahan keluarga. Dalam konteks pemenuhan kebutuhan hidup, kemajuan teknologi mampu memberikan kemudahan bagi manusia dalam memenuhi segala kebutuhan hidunya. Kemajuan teknologi hadir sebagai “budaya baru” yang mampu menggantikan tugas – tugas manusia dengan tenaga mesin. Teknologi membuat segala yang tidak mungkin menjadi mungkin serta teknologi mampu menhilangkan batas ruang dan waktu. Tetapi di sisi lain kemajuan teknologi justru membawa berbagai dampak negatif. Bahwa seperti yng kita tahu kemajuan teknologi sering disalahartikan oleh manusia untuk berbagai tindak kejahatan yang merugikan orang lain.

Kaitanya dengan keluarga kemajuan teknologi telah membawa berbagai perubahan terhadap peran masing – masing anggota keluarga. Bagi wanita (istri) kemajuan teknologi telah secara perlahan mengurangi perananya dalam keluarga. Berbagai tugas – tugas rumah tangga kini bisa diwakilkan pada alat – alat baru berteknologi canggih sehingga ia tidak perlu melaksankanya lagi. Rutinitas seperti mencuci telah tergantikan oleh mesin cuci, memasak telah tergantikan dengan Rice Cooker dan lain sebagainya. Seolah segalanya serba praktis dan efisien sesuai dengan zaman yang dinamakan oleh para ahli sebagai “zaman tombolisasi”. Dampak lain dari kemajuan teknologi adalah menyebabkan adanya ketergantungan terhadap teknologi pada masing – masing anggota keluarga. Model interaksi langsung yang intim antar sesama anggota keluarga seolah telah berganti dengan model interaksi secara tidak langsung dengan perantara teknologi. Maka interaksi yang terjalin antar sesama anggota keluarga menjadi tidak intim dan harmonis sehingga menyebabkan hubungan ketidakharmonisan dalam keluarga itu sendiri.


Disorganisasi Keluarga

Disorganisasi keluarga adalah perpecahan keluarga sebagai suatu unit, karena anggota-anggotanya gagal memenuhi kewajiban - kewajiban sesuai dengan peran sosialnya. Bentuknya, bisa berupa putusnya perkawinan akibat perceraian, atau adanya gangguan dalam hal komunikasi antar – Individu sebagaimana disebut Goode dalam "Family Disorganization in Contempory Social Problems" sebagai emptyshell family atau rumah tangga hampa.

Perubahan teknologi dan ekonomi telah menyebabkan adanya perubahan dalam keluarga baik fungsi, peran maupun status seseorang dalam keluarga. Kaitanya dengan disorganisasi keluarga adalah pertama, istri mengalami ketidakpuasan terdap perananya jika hanya diposisikan sebagai “ibu rumah tangga” saja. Keadaan seperti ini muncul karena semakin terbukanya kesempatan bagi istri untuk mengaktualisasikan dirinya pada berbagai bidang pekerjaan. Dengan semakin terbukanya berbagai peranan bagi wanita menyebabkan adanya pertentangan satu sama lain dalam hal ini antara suami dan istri. Sekarang dengan istri memiliki kebebasan dalam bekerja sesuai yang diinginkan maka konsekuensinya adalah muncul semacam tekanan pekerjaan, profesi dan kelompok kelas yang membedakan peranan – peranan bagi sang istri. Pada tipe keluarga modern istri diposisikan sebagai partner atau teman dalam urusan bisnis. Sedangkan pada tipe kleuarga tradisional istri diposisikan sebagai seorang pencari uang dan sekaligus sebagai ibu rumah tangga. Dan bagi kebanyakan keluarga menuntut istrii menjalankan semua peranan – peranan itu. Sehingga nantinya akan menyebabkan istri mengalami kesulitan dalam penyesuaian atas peran – peranya itu.

Kemudian dengan situasi seperti itu maka akan memancing konflik – konflik peranan dalam keluarga. Konflik dapat timbul apabiila sang istri memegang peranan yang tidak konsisten. Banyak suami yang merasa keberatan terhadap penerimaan hak oleh istri mereka pada bidang – bidang yang dianggap mereka adalah hak para suami. Konflik – konflik ini sering terjadi pada keluarga yang istrinya bekerja dan berpengahasilan lebih. Dalam artian suami sering mempermasalahkan masalah yang berhubungan dengan pekerjaan istrinya tersebut. Terkadang dengan adannya masalah – masalah seperti itu maka akan menyebakan munculnya ketegangan – ketegangan dalam keluarga karena dengan situasi seperti itu maka justru akan memperkecil proses penyesuaian suami terhadap peran yang dijalankan istrinya. Faktor ini sangat berperan untuk mendorong terciptanya instabilitas keluarga yang dapat mengahncurkan ikatan cinta kasih suami – istri yang telah lama terbangun. Sehingga jika suami tidak dapat menerima konsekuensi dari peran istri maka bukan tidak mungkin akan menyebabkan masalah ini akan menjadi masalah yang serius dan lama kelamaan akan menimbulkan proses disorganisasi dalam keluarga itu sendiri. Proses disorganisasi dalam keluarga (suami – istri) sedikit banyaknya berasal dari konflik yang berlangsung terus – menerus antara suami – istri yang merenggangkan ikatan – ikatan kebersamaan dari pasangan tersebut. Hal ini ditandai dengan hilangnya secara berangsur – angsur tujuan – tujuan bersama dan menjadikan tujuan – tujuan pribadi menjadi lebih penting daripada tujuan – tujuan keluarga, usaha kerja sama yang semakin menurun, tidak terciptanya komunikasi yang baik antara suami – istri serta munculnya pertentangan sikap – sikap emosional antara suami – istri.


Solusi

Menyikapi adanya perkembangan teknologi dan ekonomi yang memicu adanya perubahan yang berpengaruh dalam keluarga, sebaiknya keluarga harus bisa menyiasati semua itu dengan baik. Dalam artian keluarga harus terus berusaha mengembangkan komunikasi yang efektif dan intim terhadap sesama anggota keluarga. Suami harus bisa memahami konsekuensi peran baru sang istri sebagai seorang yang tidak hanya berposisi sebagai “konco wingking” saja. Melainkan suami harus bisa memahami dan sekaligus menerima segala konsekuensi dari peran baru istri tersebut agar nantinya masalah ini tidak mengarah pada ketegangan – ketegagana dalam keluarga yang bisa memicu timbulnya disorganisasi keluarga.

Selain itu berbagai dampak dari perkembangan ekonomi dan teknologi yang berimbas pada menurunya fungsi – fungsi pokok keluarga, sebaiknya keluarga dapat menyikapi keadaan yang demikian berubah itu dengan tetap memperhatikan faktor – faktor yang dapat memicu instabilitas keluarga. Kaitanya dengan teknologi sebaiknya keluarga tidak mensalah artikan dalam menggunakan teknologi tersebut sehingga tidak menganggu keutuhan jalinan komunikasi antar sesama anggota keluarga. Dan pada intinya keluarga harus tetap memiliki jalinan komunikasi efektif yang terbentuk secara intensif dalam keluarga itu agar nantinya dapat tercipta hubungan interpersonal antar sesama anggota keluarga yang baik. sehingga dengan komunikasi efektif itu keluarga akan bisa membentengi setiap pengaruh maupun masalah keluarga baik yang berasal dari dalam maupun dari luar.






Daftar Pustaka


H, Khairuddin. 1985. Sosiologi Keluarga. Yogyakarta: Nur Cahaya.

Soekanto, Soeryono. 2002. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Press.

www.google.com/disorganisasikeluarga/php