Kamis, 06 Januari 2011

MAKNA JILBAB DI KALANGAN MAHASISWI UNS

Oleh :
Ghufronudin (K 8408043)
Pendidikan Sosiologi – Antropologi
UNS Surakarta

ABSTRAK
Penelitian ini berbicara tentang maraknya penggunaan jilbab di kalangan mahasiswi Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta. Sedangkan jilbab yang dimaksud adalah sehelai kain yang berfungsi sebagai penutup kepala, menutup bagian leher dan dada. Permasalahan dari Fenomena maraknya penggunaan jilbab tersebut yaitu Bagaimana makna jilbab di kalangan mahasiswa UNS Beberapa hal yang perlu penulis jelaskan berkenaan dengan penelitian tersebut, Pertama jenis penelitian tersebut bersifat kualitatif, kedua, penelitian tersebut menggunakan pendekatan studi kasus karena dengan pendekatan ini penulis hanya menyelidiki bagaimana fenomena maraknya penggunaan jilbab dikalangan mahasiswa Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta. Ketiga, Metode yang digunakan adalah fenomenologi. Sampel terdiri dari dua kelompok responden dengan rincian setiap kelompok terdiri dari tiga responden, masing masing kelompok memiliki perbedaan dalam hal pemakaian jilbab. Dimana satu kelompok responden memakai jilbab gaul dan kelompok responden kedua memakai jilbab syar’i. Metode utama dalam pengumpulan data adalah depth interview, sedangkan metode pendukung yang digunakan adalah observasi, catatan lapangan dan yang Keempat adalah analisis dari data-data yang penulis dapatkan. Dari hasil penelitian ini, diketahui bahwa makna jilbab bagi seseorang adalah sebagai bentuk identitas bagi dirinya untuk mencitrakan citra ideal positif yang mereka inginkan dan juga bermakna. sebagai bentuk representasi atas keinginan subyektif yang ada pada diri pribadi mereka Ukuran jilbab yang dipakai seseorang maka akan memberikan pemaknaan yang berbeda dari si pemakai dan orang lain disekitarna. Hal ini penulis ketahui dari keenam orang mahasiswa yang menjadi informan.

Kata Kunci : Mahasiswi, jilbab dan makna























BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah
Sampai akhir dekade 80an, jilbab masih dipandang sebelah mata. Wanita berjilbab identik dengan kekolotan dan kekunoan. Siswa, mahasiswa atau dosen berjilbab identik dengan fundamentalisme yang diterjemahkan sebagai fanatisme radikal yang harus dicurigai atau dibabat habis. Sementara dalam dunia kerja, jilbab diidentikkan dengan subyektivitas yang tidak profesional, kinerja yang tidak produktif, dan performance yang tidak ‘menjual,’ sehingga wanita berjilbab dilarang masuk ke dalam lingkungan kerja, dan bila memutuskan berkarir kerap dihambat dengan alasan-alasan struktural.
Bahkan dalam beberapa tahun belakangan ini rupanya “Jilbab” atau yang lebih dikenal dengan “kerudung” menjadi sebuah tren baru di kalangan masyarakat. Kalau kita cermati kini pemakaian jilbab tidak hanya terbatas pada kalangan tertentu saja melainkan telah merambah ke berbagai kalangan masyarakat mulai dari kalangan anak – anak, anak muda maupun orang tua. Selain itu penggunaan jilbab juga tidak hanya terbatas pada acara – acara tertentu yang berbau keagamaan. Tapi kini sudah banyak orang menggunakan jilbab dalam berbagai aktivitas mereka sesuai dengan status dan peran mereka masing – masing. Mulai dari kalangan pelajar, mahasiswa, profesional, buruh, dosen, pejabat (politisi) sampai kalangan artis yang notabene merupakan publik figure. Informasi ini didapat penulis dari berbagai sumber baik melalui media cetak maupun elektronik. Hal ini menarik untuk kita cermati sebab kini jilbab tidak hanya didominasi oleh kalangan tertentu saja. Dimana jilbab, dulu hanya diidentikan dengan “pakaian santri” yang kesanya jauh dari kesan intelektual dan cenderung bersifat tradisional.
Secara terminologi, dalam kamus yang dianggap standar dalam Bahasa Arab, akan kita dapati pengertian jilbab seperti berikut: Lisanul Arab mengartikan Jilbab berarti selendang, atau pakaian lebar yang dipakai wanita untuk menutupi kepada, dada dan bagian belakang tubuhnya. Al Mu'jamal-Wasit mengartikan Jilbab berarti pakaian yang dalam (gamis) atau selendang (khimar), atau pakaian untuk melapisi segenap pakaian wanita bagian luar untuk menutupi semua tubuh seperti halnya mantel. Mukhtar Shihah mengartikan Jilbab berasal dari kata Ja lbu, artinya menarik atau menghimpun, sedangkan jilbab berarti pakaian lebar seperti mantel. Dari rujukan ketiga kamus di atas, dapat disimpulan bahwa jilbab pada umumnya adalah pakaian yang lebar, longgar dan menutupi seluruh bagian tubuh sebagaimana disimpulkan oleh Al Qurthuby Jilbab adalah pakaian yang menutupi seluruh tubuh. Dimana secara esensi terdapat berbagai ketentuan mengenai tata cara seorang perempuan dalam berjilbab Pertama, harus menutupi seluruh bagian aurat. Ke dua bukan berfungsi sebagai perhiasan. Ke tiga harus longgar dan tidak ketat tidak menggambarkan sesuatu dari tubuhnya Menurut cara pandang agama Islam jilbab identik. Ke empat tidak menyerupai laki-laki. Ke lima bukan merupakan lihas Syuhrar atau pakaian popularitas. Di sini penulis tidak ingin menggambarkan fenomena jilbab ini dari sudut pandang keagamaan tetapi meninjauanya dari sudut pandang kebudayaan.
Terlepas dari itu semua realitas yang terjadi di masyarakat adalah semakin variatifnya cara seorang perempuan dalam berjilbab (berkerudung). Variatif yang dimaksud adalah semakin beranekaragamnya “cara berkerudung”. Dimana kini dalam berjilbab tidak hanya terbatas pada satu jenis model melainkan sudah beraneka ragam variasi model dalam berjilbab (berkerudung). Model jilbab seperti model jilbab bunda baim, jilbab monahara, jilbab pasmina, jilbab bergo maupun jilbab paris merupakan keragaman model – model jilbab yang kini sedang digemari masyarakat. Jika kita cermati terdapat semacam peniruan pada beberapa model jilbab. Bahkan sebutan model jilbab menggunakan nama artis yang sedang naik daun seperti manohara, bunda baim, zaskia audya mecca dan lain – lain. Hal ini bisa jadi merupakan campur tangan para pelaku bisnis di bidang ini yang dengan jeli menangkap peluang pasar dengan memanfaatkan model artis untuk inovasi dalam bisnis mereka.
Kemudian muncul berbagai istilah di masyarakat mengenai cara berkerudung itu seperti kerudung gaul, jilbab modis, jilbab syar’i dan lain sebagainya. Dimana pada masing – masing cara berkerudung itu mempunyai cara yang lain dalam menampilkanya. Dari sini kita dapat mengindikasikan bahwa jilbab menjadi sebuah tren yang sangat lekat dengan gaya hidup (life style) masyarakat. Dimana cara seorang dalam berjilbab menjadi sebuah tren yang mengacu pada fashion. Dimana antara esensi jilbab menurut konsep islam dan esensi fashion keduanya saling bertolak belakang. Esensi jilbab menurut islam dimaksudkan sebagai identitas kemuslimahanya sekaligus sebagai pelindung bagi wanita dari bahaya yang muncul dari laki - laki. Sedangkan esensi fashion sangat menekankan pada mode atau tren yang menonjolkan keindahan tubuh wanita lewat mode pakaian. Agaknya gambaran seperti ini tercermin pada kehidupan mahasiswa di lingkungan kampus UNS. Dimana pada saat ini dapat dengan mudah kita temui mahasiswi yang mengenakan jilbab dalam aktivitas mereka di kampus. Lantas bagaimana mereka memahami esensi jilbab itu sendiri ? Bagaimana kemudian mereka memaknai jilbab sebagai bagian dari mereka ?. Lebih jauh mengenai fenomena tren jilbab ini rupanya ada kesamaan dengan dinamika fashion (busana) dimana adanya keinginan untuk selalu tampil modern dan up date turut mendorong lahirnya aneka kerudung gaya baru serta inovasi dalam desain kerudung saat ini.
Dari hal – hal yang diungkapkan diatas kiranya masalah ini menarik untuk kita kaji yang pada nantinya menghasilkan sebuah pemahaman atau wacana baru. Melalui penelitian ini penulis bermaksud untuk memahami bagaimana pelaku budaya memberikan persepsi terhadap jilbab bila ditinjau dari sudut pandang kebudayaan.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah, maka dalam penelitian ini penulis mengambil rumusan masalah sebagai berikut :
• Bagaimana makna jilbab di kalangan mahasiswi UNS?
C. Tinjauan Teori
Pernyataan paling terkenal Goffman tentang teori dramaturgis berupa buku Presentation of Self in Everyday Life, diterbitkan tahun 1959. Secara ringkas dramaturgis merupakan pandangan tentang kehidupan sosial sebagai serentetan pertunjukan drama dalam sebuah pentas. Istilah Dramaturgi kental dengan pengaruh drama atau teater atau pertunjukan fiksi diatas panggung dimana seorang aktor memainkan karakter manusia-manusia yang lain sehingga penonton dapat memperoleh gambaran kehidupan dari tokoh tersebut dan mampu mengikuti alur cerita dari drama yang disajikan.
Dalam Dramaturgi terdiri dari Front stage (panggung depan) dan Back Stage (panggung belakang). Front Stage yaitu bagian pertunjukan yang berfungsi mendefinisikan situasi penyaksi pertunjukan. Front stage dibagi menjadi 2 bagian, Setting yaitu pemandangan fisik yang harus ada jika sang actor memainkan perannya. Dan Front Personal yaitu berbagai macam perlengkapan sebagai pembahasa perasaan dari sang actor. Front personal masih terbagi menjadi dua bagian, yaitu Penampilan yang terdiri dari berbagai jenis barang yang mengenalkan status social actor. Dan Gaya yang berarti mengenalkan peran macam apa yang dimainkan actor dalam situasi tertentu. Back stage (panggung belakang) yaitu ruang dimana disitulah berjalan scenario pertunjukan oleh “tim” (masyarakat rahasia yang mengatur pementasan masing-masing actor)
Goffman mendifinisikan “self” sebagai produk atau hasil interaksi antara aktor dan penonton. Artinya self mengarahkan tingkah lakunya sesuai dengan harapan penonton yang diperoleh aktor ketika berinteraksi dengan penonton. Oleh karena itu para aktor harus selalu menyesuiakan dirinya dengan keinginan dan harapan penonton. Para aktor berharap bahwa “self” atau diri yang mereka tampilkan dalam pertunjukan itu cukup kuat atau mengesankan sehingga para penonton bisa memberikan definisi (deskripsi) tentang diri mereka itu sesuai dengan keinginan aktor itu sendiri. Yakni para aktor berharap bahwa penonton bisa mempunyai gambaran atau citra ideal positif tentang diri mereka yang sesuai dengan keinginan dan harapan aktor itu sendiri.
Goffman mendalami dramaturgi dari segi sosiologi. Beliau menggali segala macam perilaku interaksi yang kita lakukan dalam pertunjukan kehidupan kita sehari-hari yang menampilkan diri kita sendiri dalam cara yang sama dengan cara seorang aktor menampilkan karakter orang lain dalam sebuah pertunjukan drama. Cara yang sama ini berarti mengacu kepada kesamaan yang berarti ada pertunjukan yang ditampilkan. Goffman mengacu pada pertunjukan sosiologi. Pertunjukan yang terjadi di masyarakat untuk memberi kesan yang baik untuk mencapai tujuan. Tujuan dari presentasi dari Diri – Goffman ini adalah penerimaan penonton akan manipulasi. Bila seorang aktor berhasil, maka penonton akan melihat aktor sesuai sudut yang memang ingin diperlihatkan oleh aktor tersebut. Aktor akan semakin mudah untuk membawa penonton untuk mencapai tujuan dari pertunjukan tersebut. Ini dapat dikatakan sebagai bentuk lain dari komunikasi. Karena komunikasi sebenarnya adalah alat untuk mencapai tujuan. Bila dalam komunikasi konvensional manusia berbicara tentang bagaimana memaksimalkan indera verbal dan non-verbal untuk mencapai tujuan akhir komunikasi, agar orang lain mengikuti kemauan kita. Maka dalam dramaturgis, yang diperhitungkan adalah konsep menyeluruh bagaimana kita menghayati peran sehingga dapat memberikan feedback sesuai yang kita mau. Perlu diingat, dramatugis mempelajari konteks dari perilaku manusia dalam mencapai tujuannya dan bukan untuk mempelajari hasil dari perilakunya tersebut. Dramaturgi memahami bahwa dalam interaksi antar manusia ada “kesepakatan” perilaku yang disetujui yang dapat mengantarkan kepada tujuan akhir dari maksud interaksi sosial tersebut. Bermain peran merupakan salah satu alat yang dapat mengacu kepada tercapainya kesepakatan tersebut.
Dalam teori Dramatugis menjelaskan bahwa identitas manusia adalah tidak stabil dan merupakan setiap identitas tersebut merupakan bagian kejiwaan psikologi yang mandiri. Identitas manusia bisa saja berubah-ubah tergantung dari interaksi dengan orang lain. Disinilah dramaturgis masuk, bagaimana kita menguasai interaksi tersebut. Dalam dramaturgis, interaksi sosial dimaknai sama dengan pertunjukan teater. Manusia adalah aktor yang berusaha untuk menggabungkan karakteristik personal dan tujuan kepada orang lain melalui “pertunjukan dramanya sendiri”. Dalam mencapai tujuannya tersebut, menurut konsep dramaturgis, manusia akan mengembangkan perilaku-perilaku yang mendukung perannya tersebut. Selayaknya pertunjukan drama, seorang aktor drama kehidupan juga harus mempersiapkan kelengkapan pertunjukan. Kelengkapan ini antara lain memperhitungkan setting, kostum, penggunakan kata (dialog) dan tindakan non verbal lain, hal ini tentunya bertujuan untuk meninggalkan kesan yang baik pada lawan interaksi dan memuluskan jalan mencapai tujuan. Oleh Goffman, tindakan diatas disebut dalam istilah “impression management”. Goffman juga melihat bahwa ada perbedaan akting yang besar saat aktor berada di atas panggung (“front stage”) dan di belakang panggung (“back stage”) drama kehidupan. Kondisi akting di front stage adalah adanya penonton (yang melihat kita) dan kita sedang berada dalam bagian pertunjukan. Saat itu kita berusaha untuk memainkan peran kita sebaik-baiknya agar penonton memahami tujuan dari perilaku kita. Perilaku kita dibatasi oleh oleh konsep-konsep drama yang bertujuan untuk membuat drama yang berhasil (lihat unsur-unsur tersebut pada impression management diatas). Sedangkan back stage adalah keadaan dimana kita berada di belakang panggung, dengan kondisi bahwa tidak ada penonton. Sehingga kita dapat berperilaku bebas tanpa mempedulikan plot perilaku bagaimana yang harus kita bawakan. Contohnya, seorang teller senantiasa berpakaian rapi menyambut nasabah dengan ramah, santun, bersikap formil dan perkataan yang diatur. Tetapi, saat istirahat siang, sang teller bisa bersikap lebih santai, bersenda gurau dengan bahasa gaul dengan temannya atau bersikap tidak formil lainnya (ngerumpi, dsb). Saat teller menyambut nasabah, merupakan saat front stage baginya (saat pertunjukan). Tanggung jawabnya adalah menyambut nasabah dan memberikan pelayanan kepada nasabah tersebut. Oleh karenanya, perilaku sang teller juga adalah perilaku yang sudah digariskan skenarionya oleh pihak manajemen. Saat istirahat makan siang, teller bebas untuk mempersiapkan dirinya menuju babak ke dua dari pertunjukan tersebut. Karenanya, skenario yang disiapkan oleh manajemen adalah bagaimana sang teller tersebut dapat refresh untuk menjalankan perannya di babak selanjutnya.
Sebelum berinteraksi dengan orang lain, seseorang pasti akan mempersiapkan perannya dulu, atau kesan yang ingin ditangkap oleh orang lain. Kondisi ini sama dengan apa yang dunia teater katakan sebagai “breaking character”. Dengan konsep dramaturgis dan permainan peran yang dilakukan oleh manusia, terciptalah suasana-suasana dan kondisi interaksi yang kemudian memberikan makna tersendiri. Munculnya pemaknaan ini sangat tergantung pada latar belakang sosial masyarakat itu sendiri. Terbentuklah kemudian masyarakat yang mampu beradaptasi dengan berbagai suasana dan corak kehidupan. Masyarakat yang tinggal dalam komunitas heterogen perkotaan, menciptakan panggung-panggung sendiri yang membuatnya bisa tampil sebagai komunitas yang bisa bertahan hidup dengan keheterogenannya. Begitu juga dengan masyarakat homogen pedesaan, menciptakan panggung-panggung sendiri melalui interaksinya, yang terkadang justru membentuk proteksi sendiri dengan komunitas lainnya. Apa yang dilakukan masyarakat melalui konsep permainan peran adalah realitas yang terjadi secara alamiah dan berkembang sesuai perubahan yang berlangsung dalam diri mereka. Permainan peran ini akan berubah-rubah sesuai kondisi dan waktu berlangsungnya. Banyak pula faktor yang berpengaruh dalam permainan peran ini, terutama aspek sosial psikologis yang melingkupinya.
Sedangkan menurut Charles Horton Cooley melalui teori “looking glasss self” atau diri berdasarkan penglihatan orang lain, Cooley mendefinisikan tentang “self” atau diri yang dibaginya ke dalam tiga komponen yakni pertama, kita membayangkan bagaimana kita menampakan diri kepada orang – orang lain, kedua, kita membayangkan bagaimana penilaian mereka terhadap penampilan kita, ketiga, bagaimana kita mengembangkan semacam perasaan tertentu sebagai akibat dari bayangan kita tentang penilaian orang lain itu. Charles Horton Cooley (1846–1929), yang memusatkan perhatiannya pada interaksi antara individu dan kelompok. Mereka menemukan bahwa individu-individu tersebut berinteraksi dengan menggunakan simbol-simbol, yang di dalamnya berisi tanda-tanda, isyarat dan kata-kata.
Barnard dalam bukunya ‘Fashion Sebagai Komunikasi’ mengatakan bahwa komunikasi bukanlah sekadar orang dapat memikirkan sesuatu dan orang lain memahaminya secara langsung dan sempurna, Lomunikasi manusia melibatkan sesuatu untuk merepresentasikan ayau menyajikan sesuatu yang lain. Kata – kata tertulis dan lisan digunakan untuk merepresentasikan pikiran dan opini. Komunikasi manusia melibatkan penggunaan ‘tanda’ (sign).
Bagi Sauusure, tanda terdiri atas dua bagian yaitu ‘penanda’ (signifier) dan ‘petanda’ (signified). Petanda adalah bagian fisik tanda yang berupa suara atau bentuk kata. Petanda adalah konsep mental yang merupakan acuan bagi penanda. Ia adalah makna dari penanda. Secara bersama – sama, keduanya membentuk tanda (Saussure, 1974: 65-7). Suara yang dibuat dengan mengatakan kata ‘kemeja’ adalah sebuah penanda. Ini berarti atau merepresentasikan pakaian pria. Butir- bitir pakaian pria adalah sebuah petanda. Bentuk yang membentuk kata tertulis ‘kemeja’ juga merupakan sebuah penanda. Bentuk tulisan ‘kemeja’ juga berarti atau merepresentasikan pakaian pria. Penanda adalah segalanya yang berarti merepresentasikan sesuatu hal lain yang direpresentasikanya.
Secara lebih tepat, stelan, pakaian, koleksi dan citra dapat dianggap dan dianalisis sebagai penanfa, karena berarti atau merepresentasikanya sesuatu hal yang lain, Misalnya kerah baju pria diapakai terbuka tanpa dasi, dapat disebut sebagai penanda. Ia bisa disebut menandakan ketidakformalan atau santai. Disini santai merupakan petanda. Kerah yang sama dipakai tertutup dengan dasi juga dapat dianggap sebagai penanda. Ia berarti atau merepersentasikan keformalan dan kegagagan, dan keformalan dan kegagahan merupakan petanda. Sebuah kode adalah seperangkat aturan bersama yang menghubungkan penanda dengan petanda. Jika lode tak diketahui maka mungkin menjadi tak pasti apakah penanda tertentu merupakan penandaan.

D. Teknik Pengumpulan Data
Teknik utama dalam pengumpulan data adalah wawancara mendalam (depth interviewing) sedangkan metode pendukung yang digunakan adalah observasi, dokumentasi dan catatan lapangan. Wawancara mendalam dilakukan pada keenam informan sebagai sampel mahasiswi UNS diantaranya Ferary, Navita, Dian sebagai kelompok responden pertama (memakai jilbab syar’i). Dan Dwiana, Yulia dan Devita sebagai kelompok responden kedua (memakai jilbab modis/gaul). Adapun observasi dilakukan penulis dengan cara penulis melakukan observasi di Pusat Perbelanjaan Solo Grand Mall, toko perlengkapan muslim di sekitar kota Solo serta ke toko – toko perlengkapan muslim dintaranya toko jilbab Imas 3 (depan kampus UNS), toko jilbab Aisya (belakang Kampus UNS) dan toko jilbab Defi (belakang kampus UNS). Serta observasi dilakukan dengan cara penulis melakukan pengamatan langsung terhadap penggunaan jilbab dikalangan mahasiswi UNS.


BAB II
PEMBAHASAN

Pada saat ini dapat dengan mudah kita jumpai berbagai toko yang menjual beragam perlengkapan ibadah umat muslim baik di kota besar maupun di kota – kota kecil di berbagai daerah. Perlengkapan ibadah yang tersedia di toko – toko tersebut boleh dibilang cukup lengkap, dari aneka sajadah, sarung, mukena, kopiah, baju koko, kerudung, dan baju muslim tersedia di sana. Di tempat ini pula tersedia aneka pigura berisi kaligrafi ayat-ayat suci Alquran, termasuk jam dinding yang bisa melantunkan ayat-ayat suci Alquran setiap masuk waktu shalat, sekaligus mengumandangkan suara adzan. Selain itu pada beberapa toko juga menyediakan berbagai perlengkapan haji dan umroh dan juga oleh-oleh haji. Sehingga bagi masyarakat yang akan menunaikan ibadah haji ataupun umroh, mereka tidak perlu untuk pusing-pusing lagi dalam mencari segala sesuatu yang mereka butuhkan. Bahkan tidak ketinggalan di setiap sudut ruang pusat perbelanjaan dapat dengan mudah kita temui poster – poster maupun iklan sebuah produk perlengkapan busana muslim dengan daya tariknya masing – masing yang tidak jarang bisa menggiurkan keinginan dari dalam diri kita untuk memilkinya. Seperti yang ada di Pusat Perbelanjaan Solo Grand Mall, dimana di dalam pusat perbelanjaan itu terdapat beberapa outlet yang menjual berbagai perlengkapan muslim dengan merek ternama. Bahkan kini perlengkapan busana muslim telah menjelma menjadi bisnis yang subur seperti yang terjadi di kota Solo. Terbukti dengan semakin menjamurnya berbagai outlet perlengkapan muslim di berbagai sudut kota seperti di jalan Slamet Riyadi dan jalan MT. Haryono. Kini dapat dengan mudah kita jumpai berbagai outlet perlengkapan muslim ternama tersebut seperti al fath, penimo, shafira, rabbani, dan masih banyak lagi outlet – outlet yang menjual beragam perlengkapan busana muslim dengan merek yang terkenal. Begitu pula yang terjadi pada bisnis perlengakapan muslim untuk usaha kecil menengah. Berdasarkan observasi penulis di lingkungan sekitar kampus UNS, banyak berdiri usaha perlengakapan muslim yang memang sasaran utamanya adalah mahasiswa UNS sendiri.
“Membuka bisnis ini bisa dibilang cukup menguntungkan mas, omzet penjualan tiap harinya berkisar antara Rp 300.000 – Rp 500.000 dengan keuntungan tiap potongnya rata – rata Rp 3.000 – Rp 5.000” (Masturoh/Pemilik Toko Perlengkapan Muslim Imas 3/11/12/2010)

“Dalam sehari biasanya penjualan bisa sampai Rp 300.000 – Rp 450.000. Buka dari jam 10.00 – 17.30 WIB” (Nita/Pemilik Toko Perlengkapan Muslim Aisya/11/12/2010)

Pernyataan dari informan diatas mengindikasikan bahwa bisnis perlengkapan muslim di daerah sekitar kampus UNS bisa dibilang bisinis yang menjanjikan. Karena selain pemasatanya mudah, untuk membuka bisnis ini pun kendalanya tidak terlalu banyak.
Selain itu jilbab juga tidak hanya menjadi barang ekslusif yang sifatnya mahal, melainkan kini jilbab banyak yang telah beredar di pasaran dengan harga yang relatif murah sehingga dapat dijangkau oleh berbagai lapisan masyarakat. Di lingkungan sekitar kampus UNS sendiri kini telah banyak toko – toko perlengkapan muslim yang menjual berbagai perlengkapan busana muslim serta pernak – perniknya. Diantaranya toko perlengkapan muslim Imas 3 (depan kampus UNS), toko perlengkapan muslim Aisya (belakang Kampus UNS) dan toko perlengkapan muslim Defi (belakang kampus UNS) dan masih ada beberapa toko perlengkapan muslim serupa. Dimana harga yang ditawarkannya pun bisa dibilang sesuai dengan kantong mahasiswa. Seperti di toko perlengkapan busana muslim Aisya (belakang kampus UNS) yang menjual harga jilbab mulai dari harga Rp 12.000,00 – Rp 22.000,00 untuk jilbab standar yaitu jilbab Paris dan Wika. Sedangkan untuk jilbab Haikon harganya berkisar antara Rp 13.000,00 – Rp 39.000,00. Dengan harga demikian kiranya tidak heran jika banyak mahasiswa yang memiliki jilbab lebih dari cukup.
“aku punya jilbab jumlahnya lima belas. Karena tidak mungkin kalau setiap hari aku hanya pakai jilbab yang itu – itu saja. Jilbab yang aku punya yaitu jilbab paris untuk model jilbab segi empatnya dan jilbab langsung. Mereknya beragam, seperti Yumna, Donatello, Rabbani, Wika dan ada beberapa merek yang aku lupa namanya” (Dwiana/10/12/2010)

Hal senada juga diungkapkan oleh Yulia
“jilbab yang aku punyai sekarang dan yang sering aku pakai jumlahnya sebelas. Karena aku suka mematchingkan dengan pakaian yang aku pakai. Model jilbabnya untuk model jilbab segi empat kebanyakan jilbab paris karena simpel dan mudah dipakai tapi yang model manohara juga punya. Model yang lain jilbab cemplung untuk aku pakai pada acara luar. Mereknya Yumna, Harmei, Hameda, Donatello dan merek – merek lokal lainya” (Yulia/9/12/2010)

Pernyataan yang diungkapkan oleh informan tersebut mengindikasikan bahwa fenomena maraknya penggunaan jilbab atau lebih dikenal dengan istilah jilbabisasi di kalangan mahasiswa UNS apabila dikaitkan dengan konteks permasalahan diatas sesuai dengan hukum penawaran dan permintaan (ceteris paribus) dimana Jika harga semakin murah maka permintaan atau pembeli akan semakin banyak dan sebaliknya. Jika harga semakin rendah atau murah maka penawaran akan semakin sedikit dan sebaliknya. .
Di lingkungan kampus UNS sendiri kini dapat dengan mudah kita temukan mahasiswa yang berkuliah dengan mengenakan jilbab. Hampir di setiap fakultas yang ada dipastikan ada mahasiswa yang mengenakan jilbab. Bentuk dan model jilbab yang dikenakakanya pun sangat bervariasi seperti model jilbab paris, jilbab langsung, model jilbab bunda baim, jilbab monahara, jilbab pasmina, jilbab bergo sampai model jilbab volume besar. Selain itu warna dan coraknya pun sangat bervariasi. Dominasi warna jilbabnya tidak hanya satu melainkan sangat bervariasi. Serta coraknya pun beragam seperti corak jilbab dengan paduan aksesoris (bling – bling), jilbab gambar dan berbagai corak jilbab yang lain.
Berdasarkan informasi yang penulis dapatkan dari keenam informan yaitu Ferary, Navita, Dian, Dwiana, Yulia dan Devita, pada umumnya mereka mengenakan jilbab karena adanya pengaruh dari beberapa faktor diantaranya faktor keluarga, pemahaman agama, keinginan untuk mempercantik diri dan karena faktor pertemanan. Dari beberapa faktor tersebut faktor pertemananlah yang menjadi faktor pendorong dominan mereka untuk mengenakan jilbab. Seperti yang diungkapkan oleh Devita, Dwiana dan Ferary
“dulu pertama kali pakai jilbab kelas 2 SMP. Waktu itu aku berjilbabnya masih setengah – setengah. Cuma pas kalau ada acara keluar aja. Aku berjilbab karena aku melihat teman – teman ku yang pakai jilbab itu kayaknya rasanya adem dan teduh gitu.” (Ferary/16/12/2010)

“Aku mulai berjilbab waktu SMA. Karena selain sekolah ku islam dan karena aku melihat teman – teman ku yang pakai jilbab itu kok kelihatan lucu dan masih bisa tampil modis. Jadinya aku kayak terbawa arus temen – temen ku gitu.” (Devita/11/12/2010)

“aku mulai pakai jilbab pas aku SMA kelas 2. Karena waktu itu kebetulan temen – temen dekat ku pada ikut ROHIS semua. Mereka sering member ku masukan untuk aku pakai jilbab. Terus karena aku juga sering melihat mereka pakai jilbab kok kelihatanya nyaman” (Dwiana/10/12/2010)

Mengenai model jilbab yang mereka kenakan memang terdapat perbedaan antara dua kelompok responden. Dimana pada kelompok responden yang pertama (Navita, Ferary dan Dian) merupakan kelompok yang memakai jilbab sesuai dengan aturan syar’i. Sedangkan pada kelompok responden yang kedua (Dwiana, Yulia, Devita) merupakan kelompok yang memakai jilbab bermodel (gaul). Pada kelompok rseponden pertama, mereka memakai jilbab sesuai dengan tuntutan syariat islam yakni ukuran jilbabnya besar dengan diikuti pula ukuran dan model baju yang mereka pakai juga mengikuti syariat islam yakni longgar (tidak ketat). Sedangkan pada kelompok responden yang kedua, jilbab yang mereka pakai cenderung jilbab yang bermodel yakni jilbab segi empat dengan tatanan jilbabnya yang dimodifikasi. Ukuran jilbab yang mereka kenakan tidak sebesar dan semodis yang dikenakan pada kelompok responden yang pertama. Dan pakaian yang mereka kenakan pun cenderung pakaian yang modis (tidak longgar).
Inilah yang oleh Goffman dijelaskan lewat konsep dramaturginya dimana melalui pembedaan konsepnya yakni front stage dan back stage, pada bagian front stage informan bertindak sebagai aktor dengan setting mereka adalah di kampus. Kemudian bagian lain dari front stage ini yaitu personal front dimana pada bagian ini informan (aktor) memilki kelengkapan seperti buku, tas, sepatu, baju formal dan juga laptop untuk beberapa informan yang secara langsung mengidentifikasikan peran mereka sebagai mahasiswa. Lebih lanjut lagi, Goffman membagi personal front ini atas dua bagian lagi yakni appearance (penampilan) dan manner (gaya). Dimana informan memiliki berbagai kelengkapan yang dapat mengidentifikasikan diri mereka sebagai mahasiswa yang tentunya mereka juga memilki gaya atas peranya yang diharapkan sesuai dengan harapan masyarakat atas peranya itu. Jilbab sebagai bagian dari penampilan mereka membawa konsekuensi bagi sang aktor (informan) untuk memainkan gaya atas peranya sebagai mahasiswa yang secara tidak langsung mereka mendapat tuntutan dari orang lain untuk berperilaku sesuai dengan harapan mereka
Masih dalam konsep dramaturginya Goofman, dimana ia mempunyai asumsi bahwa ketika individu – individu yang berinteraksi atau memainkan lakon – lakon dalam panggung sandiwara, maka mereka ingin supaya diri (self) mereka diterima. Tetapi di pihak lain, ketika mereka memainkan peran – peranya, mereka tetap menyadari kemungkinan akan adanya penonton yang bisa menganggu pertunjukan mereka. Oleh karena itu para aktor (informan) harus selalu menyesuaikan dirinya dengan keinginan dan harapan penonton, terutama elemen – elemen yang bisa menganggu. Dalam mencapai tujuannya tersebut, menurut konsep dramaturgis, aktor (informan) akan mengembangkan perilaku - perilaku yang mendukung perannya tersebut. Selayaknya pertunjukan drama, seorang aktor (informan) yang berperan sebagai lakon dalam drama kehidupan secara tidak langsung telah mereka persiapkan berbagai kelengkapan dalam pertunjukanya tersebut. Kelengkapan ini antara lain memperhitungkan setting, kostum, penggunakan kata (dialog) dan tindakan non verbal lain, hal ini tentunya bertujuan untuk meninggalkan kesan yang baik pada lawan interaksi dan memuluskan jalan mencapai tujuan. Para aktor (informan) itu berharap bahwa Self atau Diri yang mereka tampilkan dalam pertunjukan itu, cukup kuat atau mengesankan sehingga para penonton bisa memberikan definisi (deskripsi) tentang diri mereka (aktor – aktor) itu sesuai dengan keinginan aktor itu sendiri. Hal itu berarti bahwa para aktor mengharapkan bahwa para penonton bisa mempunyai gambaran atau ideal positif tentang diri mereka, yakni gambaran yang sesuai dengan keinginan dan harapan aktor itu sendiri. Oleh Goffman, tindakan diatas disebut dalam istilah “impression management”.
Sedangkan jika dijelaskan dengan teori “Looking Glass Self” nya Cooley , dijelaskan bahwa dalam berinteraksi dengan orang lain, seorang individu akan menafsirkan gerak – gerik orang lain dan dia dapat melihat dirinya berdasarkan sudut pandang orang lain. Lebih lanjut Cooley mengungkapkan bahwa ketika seseorang berinteraksi dengan orang lain maka orang tersebut akan dapat membayangkan bagaimana orang lain memberikan penilaian terhadap mereka. Kemudian mereka pada akhirnya dapat membentuk gambaran – gambaran tentang diri mereka sendiri. Kesan muslimah yang taat terhadap syariat agama maupun kesan muslimah yang modis, elegan maupun gaul merupakan kesan yang mereka inginkan ketika mereka mengenakan jilbab sebagai bagian dari aksesoris (pelengkap) busana mereka
Merujuk pada apa yang diungkapkan oleh Cooley diatas maka ketika seseorang mengenakan jilbab secara tidak langsung ia mampu melihat dirinya sendiri melalui sudut (cara) pandang orang lain atas pengenaan jilbab olehnya. Melalui berbagai respon (tanggapan) orang lain maka dalam diri dirinya akan terbentuk skema berfikir atas tampilan dirinya di hadapan orang lain. Dengan memakai jilbab maka seseorang dalam dirinya akan berimajinansi membayangkan respon orang lain atas pemakaian jilbab olehnya. Cooley disini memberikan gambaran bahwa Dimana dalam hal ini berkaitan dengan persepsi tentang apa yang diharapkan oleh subyek (pemakai) dengan penilaian orang lain. Sehingga seseorang (pemakai jilbab) akan memberikan gambaran orang lain kepada diri mereka sendiri yang pada akhirnya meraka akan mampu mengembangkan semacam perasaan tertentu sebagai akibat dari bayangan dalam diri mereka terhadap penilaian orang lain. Seperti yang diungkapkan oleh informan
“Setelah aku rasakan pakai jilbab itu enak karena aku merasa mampu untuk mencitrakan diri sebagai cewek yang baik. Terlihat lebih cantik juga, bisa tampil beda karena bisa bereksperimen sesuka kita, bisa tambah PD dan nyaman dalam berpenampilan” (Devita/13/12/2010)

“Semenjak aku pake jilbab aku merasa diriku semakin terlindungi dari bahaya luar. Dan aku merasa nyaman memakainnya karena orang – orang disekitarku jadi lebih menghargai aku” (Yulia/11/12/2010)

“Pake jilbab itu enak, nyaman, senang dan terasa aman dari bahaya luar”(Dwiana/11/12/2010)

Ukuran jilbab yang mereka pakai secara tidak langsung telah menjadi sebuah simbol dimana orang lain dapat memberikan penilaian (respon) dari apa yang ada dalam persepsi pikiran mereka. Untuk ukuran jilbab besar dengan baju yang longgar maka orang akan cenderung memberikan penilaian kepada mereka sebagai muslimah yang taat. Sedangkan untuk ukuran jilbab kecil maupun standar dengan baju yang tidak longgar (mengikuti mode) maka orang akan cenderung memberikan penilaian kepada mereka sebagai muslimah yang modis atau gaul. Kemudian pada akhirnya mereka akan mampu dengan sendirinya membentuk gambaran atas diri mereka sendiri dengan mendasarkan atas penilaian orang lain kepadanya.
Dengan kata lain ketika seseorang mengenakan jilbab sebenarnya dibalik pemakaianya tersebut dapat menyiratkan sebuah makna yang bersifat sangat subyektif tergantung pada keinginan dalam diri mereka sendiri. Lewat jilbab mereka dapat melihat dan menginterpretasikan diri mereka sendiri melalui penilaian orang lain yang oleh Cooley disebut sebagai “self”. Selanjutnya Cooley juga menjelaskan bahwa “self” muncul dari proses komunikasi dengan orang lain . Artinya pemahaman atas diri individu muncul ketika individu berkomunikasi atau berinteraksi dengan individu lain. Tanpa adanya komunikasi dan interaksi dengan individu lain maka individu tidak akan bisa memahami diri ,meraka sendiri. Sehingga konsep tentang “self” ini bisa menjelaskan tentang latar belakang ketika seseorang mengenakan jilbab sebagai sebuah identitas bagi mereka. Melalui jilbab mereka ingin menunjukan tentang “self” mereka kepada orang lain. Seperti yang diungkapkan oleh informan
“Aku berjilbab karena emang sejak kelas 2 (dua) SMA aku pengin menunjukan identitasku sebagai seorang muslimah. Ya walaupun masih belum sempurna. Tetapi setidaknya dengan aku memakai jilbab bisa lebih memberikan dorongan bagiku untuk memperbaiki perilaku, ibadah dan sikapku” (Dwiana/11/12/2010)

Berkaitan dengan konsep diri (self) menurut Goffman diatas bahwa didalam dramaturgi juga memahami bahwa dalam interaksi antar manusia ada “kesepakatan” perilaku yang disetujui yang dapat mengantarkan kepada tujuan akhir dari maksud interaksi sosial tersebut. permainan peran yang dimainkan informan sebagai aktornya merupakan salah satu alat yang dapat mengacu kepada tercapainya kesepakatan tersebut. Dimana jilbab yang mereka pakai bisa menjelaskan identitasnya. Dimana ketika seseorang tersebut berinteraksi dengan orang lain maka secara tidak langsung dengan jilbab yang dipakainya mereka ingin menampilkan dihadapan orang lain citra ideal positif diri mereka seperti yang mereka harapkan.
“Aku merasa nyaman pakai jilbab seperti ini karena bagiku dengan aku memakai jilbab aku merasa lebih terlihat cantik, feminim, lebih terlihat sopan dan anggun” (Yulia/11/12/2010)

“Setelah aku rasakan pakai jilbab itu enak karena aku merasa mampu untuk mencitrakan diri sebagai cewek yang baik. Terlihat lebih cantik juga, bisa tampil beda karena bisa bereksperimen sesuka kita, bisa tambah PD dan nyaman dalam berpenampilan” (Devita/13/12/2010)

“Memakai jilbab bagiku satu kewajiban yang harus ditaati sebagai seoarang muslimah yakni untuk menutup aurat” (Dian/29/12/2010)

Dalam berinteraksi dengan orang lain secara tidak sadar akan muncul dalam diri mereka keinginan – keinginan yang mereka harapkan dari penonton (orang lain) untuk memberikan penilaian seperti yang mereka harapkan. Dengan jilbab yang dipakainya seolah mereka ingin menonjolkan kesan dari dalam dirinya agar orang lain bisa menaruh kesan yang sama seperti yang mereka harapkan. Inilah yang sebanarnya menjadi sebuah latar belakang bagi seseorang untuk mengenakan jilbab. Melalui jilbab mereka ingin menunjukan “self” atau diri mereka kepada orang lain. Seperti yang diungkapkan oleh (Paul du Gay,et al, 1997: 99-102). Bahwasanya penentuan “siapa aku” atau status diri ditemukan dengan mengkonsumsi produk yang citra luarnya bisa mengangkat derajat identitas dirinya. Citra luar di sini adalah ukuran, model dan jenis jilbab yang mereka pakai bisa mengangkat derajat identitas diri si aktor. Dimana dengan jilbab mereka ingin dicitrakan sebagai muslimah yang baik (kelompok responden pertama) dan juga dengan jilbab mereka ingin dicerminkan sebagai perempuan yang tidak ketinggalan tren (kelompok responden kedua). Sehingga dari sini jelas bahwa jilbab mempunyai “makna” tersendiri bagi pemakainya.
Selanjutnya menurut Goffman, dalam memainkan peranya para aktor harus selalu menyesuaikan dirinya dengan keinginan dan harapan penonton agar Self (diri) yang mereka tampilkan bisa cukup kuat. Dimana dalam hal ini ketika mereka mengenakan jilbab maka sebenarnya terdapat konsekuensi dari orang lain yang harus mereka penuhi. Seperti apabila mereka ingin terlihat cantik, feminim, anggun maupun modis dalam berjilbab maka mereka secara tidak langsung harus menunjukan ‘kecantikan’ diri mereka dengan berjilbab sesuai dengan keinginan orang lain. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh informan
“Biasanya kalau aku berjilbab, selalu aku mathcingkan dengan baju yang aku pakai. Misal bajuku coklat dan rok ku item maka aku pilih pakai jilbab yang warna netral sepeti hitam, coklat atau putih. Ya agar enak aja kalo dipandang orang lain” (Yulia/11/12/2010)

“Selain dalam memakai jilbab harus mematchingkan dengan baju, dalam memakai jilbab aku juga mempertimbangkan model jilbab yang aku pakai. Karena saat ini trenya adalah jilbab paris maka aku selalu memakai model jilbab paris” (Devita/13/12/2010)

Dalam hal lain misalnya ketika seseorang mengenakan jilbab maka mereka seolah mendapatkan ketentuan atau keharusan yang merupakan harapan orang lain untuk mereka yang mengenakan jilbab agar mereka bisa menunjukan tingkah laku yang sopan, beretika baik, maupun bisa menjaga dari hal – hal negatif. Itulah yang oleh Goffman dikatakan bahwa untuk memperkuat identitas (citra ideal) seperti yang merek harapkan maka mereka harus selalu menyesuaikan dirinya dengan keinginan dan harapan penonton (orang lain)
Lebih lanjut Goffman mengungkapkan bahwa oleh karena orang pada umumnya berusaha ingin menampilkan Self (diri) yang diidealkan dalam front stage maka mau tidak mau harus menyembunyikan hal – hal tertentu dalam pertunjukan (performance) itu. Pertama misalnya aktor menyembunyikan hal – hal yang bersifat negatif dalam kehidupanya yang berlawanan dengan citra ideal jilbab yang telah lama melekat.
“Ada perbedaan ketika aku belum pakai jilbab dengan setelah aku pakai jilbab seperti sekarang ini. Sekarang setelah aku pakai jilbab aku mulai membatasi pergaulanku tidak seperti dulu yang urakan. Sekarang dengan jilbab aku merasa harus lebih santun agar bisa menjaga jilbab yang aku pakai” (Devita/13/12/2010)

“Setelah aku pakai jilbab, aku merasa lebih termotivasi untuk memulai spiritual yang baru agar jilbab dapat lebih memacu diri agar dapat disebut sebagai orang yang pantas berjilbab” (Ferary/16/12/2010)

“Setelah aku memakai jilbab aku menjadi lebih termotivasi untuk mengontrol diriku dari perilaku negatif dan bahkan menjadi lebih terpacu untuk menghilangkan perilaku negatif itu. Ya walaupun terkadang secara tidak sadar masih sering lepas kontrol” (Yulia/31/12/2010)

Kedua, menurut Goffman aktor mungkin juga ingin menyembunyikan kekeliruan – kekeliruan yang terjadi selama latihan menjelang pertunjukan dan juga langkah – langkah yang telah diambil untuk memperbaiki kekeliruan itu. Ketiga, aktor mungkin merasa perlu untuk menunjukanya hasil dari usahanya dan tidak menunjukan usaha yang dilakukan untuk mencapai hal itu.
“Aku rasa aku gak perlu memberi tahu alasan mengapa aku pakai jilbab selama alasnya syar’i ” (Yulia/31/12/2010)

“Rasanya aku gak pernah ngomong ma orang – orang ki kenapa aku pakai jilbab. Keputusan pribadi ku kok ya kalo gak ditanya ya gak tak bahas” (Dwiana/31/12/2010)

Salah satu aspek dari dramaturgi atau pertunjukan panggung, khususnya front stage ialah bahwa aktor seringkali mencoba untuk memberikan kesan bahwa mereka lebih dekat dengan penonton daripada kenyataan sebenarnya. Guna menimbulkan kesan ini maka harus dibuat sedemikian rupa sehingga ada pemisahan antara dia dengan penonton agar jika ada kesalahan atau kekeliruan dalam pementasan, penonton tidak mengetahuinya. Kalaupun penonton mengetahui, mereka mengharapkan bahwa hal itu tidak bakal mengubah citra mereka dihadapan penonton. Seperti yang diungkapkan oleh beberapa informan diatas bahwa mereka sebisa mungkin menunjukan perilaku yang menurut mereka baik dihadapan orang lain. Dengan maksud agar orang lain tetap menunjukan kesan (citra) ideal yang kuat atas pengenakan jilbab pada diri mereka.
“Aku akan merasa malu kalau ada orang lain yang melihatku tidak memakai jilbab karena akan kelihatan gak konsekuen banget buka tutup aurat” (Dian/31/12/2010)

“Jujur aku perkewuh misal ada orang lain yang tidak biasa melihat aku pakai jilbab” (Devita/31/12/2010)

Menurut Goofman, sebelum berinteraksi dengan orang lain, maka aktor (informan) pasti akan mempersiapkan perannya dulu, atau kesan yang ingin ditangkap oleh orang lain. Kondisi ini sama dengan apa yang dunia teater katakan sebagai “breaking character”. Seperti yang diungkapkan oleh informan
“Jilbab yang aku pakai wajib aku sesuaikan dengan warna dan jenis baju yang aku pakai. Karena gak mungkin banget kalo misalnya bajuku coklat jilbabku ungu. Kan kesanya gak matching banget. Jadinya gak enak juga kalo diliat orang” (Yulia/11/12/2010)

Dengan konsep dramaturgis dan permainan peran yang dilakukan oleh informan diatas maka terciptalah suasana - suasana dan kondisi interaksi yang kemudian memberikan makna tersendiri. Dimana jilbab sebagai bagian dari kelengkapan mereka dalam memainkan peranya sebagai mahasiswa mampu memberikan makna kepada orang lain dimana munculnya pemaknaan ini sangat tergantung pada latar belakang sosial masyarakat (orang lain disekitarnya ) itu sendiri.
Mengenai konsep back stage atau belakang panggung yang diterangkan Goffman bahwasanya bagian belakang panggung biasanya tertutup atau terpisah dari bagian depan panggung atau tidak bisa dilihat dari bagian depan panggung dengan kondisi bahwa tidak ada penonton. Sehingga aktor (informan) dapat berperilaku bebas tanpa mempedulikan plot perilaku bagaimana yang harus kita bawakan. Mereka mengusahakan supaya para penonton tidak boleh muncul pada bagian belakang panggung. Performance akan menjadi cukup sulit apabila mereka tidak berhasil mencegah penonton memasuki back stage. Didalam back stage ini para aktor (informan) tidak perlu untuk bertingkah laku sesuai dengan harapan – harapan orang lain dari peranya itu. Seperti yang diungkapkan informan
“Intensitas ku memakai jilbab kebanyakan ketika aku ada acara di luar rumah seperti kuliah, main, olahraga dan lain sebagaianya. Selebihnya itu misalkan dirumah atau di kos aku tidak pakai jilbab. Jadi aku malu sekali jika ada orang lain yang belum terbiasa melihat aku memakai jilbab ketika mereka tahu aku tidak sedang memakai jilbab” (Navita/26/12/2010)



Hal senada juga diungkapkan oleh Dwiana
“aku pakai jilbab cuma pas aku keluar rumah aja. Kalo di kos atau dirumah biasanya aku gak pakai” (Dwiana/11/12/2010)

Sementara jika merujuk pada konsep semiologi Saussure , dalam penjelasanya dapat diambil pengertianya bahwa suara yang dibuat dengan mengatakan kata ‘jilbab’ adalah sebuah penanda. Karena ini berarti merepresentasikan identitas wanita muslim. Butir – butir identitas wanita muslim adalah sebuah petanda. Lebih lanjut bentuk yang membentuk kata tertulis ‘jilbab’ juga merupakan sebuah penanda. Karena bentuk tulisan ‘jilbab’ juga berarti merepresentasikan identitas wanita muslim. Dan butir – butir identitas wanita muslim adalah sebuah petanda. Baik itu bentuk lisan atau tertulis adalah jilbab. Mereka tidak tampak sama atau terdengar seperti jilbab, namun mereka digunakan untuk menandai dan untuk merepresntasikan jilbab.
Lebih lanjut berkaitan dengan masalah diatas, Jilbab diartikan sebagai penanda (signifier) karena jilbab merepresentasikan sesuatu hal lain yang direpresentasikanya. Misalnya jilbab yang dikenakan wanita dengan model jilbab besar (Navita, Ferary dan Dian) mampu merepresentasikan sesuatu hal lain yang disini dimaksudkan sebagai penanda (signified). Dengan model jilbab yang seperti itu bisa disebut merepresentasikan cerminan wanita yang taat akan ajaran agamanya. Disini cerminan wanita (muslimah) yang taat akan ajaran agama merupakan petanda. Hal ini dikarenakan orang mengetahui kode mengenai besar kecilnya ukuran jilbab yang dipakai wanita yang dipahami orang sebagai ukuran ketaatan wanita terhadap ajaran agamanya sebagai petanda. Dimana secara esensinya yang dipahami orang sebagai jilbab yang syar’i adalah jilbab yang seperti itu. Sehingga kemudian orang lain akan memberikan kesan maupun respon yang demikian terhadap si pemakainya. Sementara jika jilbab yang dikenakan seorang wanita berukuran kecil dan dibuat modifikasi (Dwiana, Yulia dan Devita) dalam pemakaianya yang dalam hal ini ukuran jilbab yang kecil disebut sebagai penanda, mampu memberikan penandaan akan tampilan wanita (muslimah) yang modis dan gaul. Kesan modis dan gaul inilah yang disebut sebagai petanda. Hal ini dikarenakan orang lain mengetahui jika jilbab yang dimodifikasi baik pada model maupun cara memakainya dipahami orang sebagai jilbab yang gaul. Sehingga orang lain akan memberikan kesan yang seperti itu kepada si pemakainya. Menurut Saussure, hal ini dikarenakan adanya sebuah kode yang baginya kode adalah seperangkat aturan bersama yang menghubungkan penanda dengan petanda. Jika kode tidak diketahui maka mungkin menjadi tidak pasti apakah penanda tertentu merupakan penandaan. Dengan demikian dengan kode inilah yang kemudian akan membuat orang akan memberikan kesan atau respon terhadap si pemakai jilbab atas pemahaman kode – kode tertentu yang telah mereka pahami.























BAB III
PENUTUP


Kesimpulan
Dari keenam informan yang penulis jadikan sebagai sampel atas permasalahan yang penulis angkat ini bukanlah representasi secara keseluruhan tentang fenomena maraknya jilbab dikalangan mahasiswi UNS. Melainkan keenam informan yang penulis jadikan sebagai sampel tersebut hanyalah mencerminkan bagian daripada sebuah gambaran bahwa setiap individu yang dalam hal ini adalah wanita muslim yang mengenakan jilbab pada setiap dirinya memiliki keiginan yang sifatnya sangat subyektif. Dimana hal ini bergantung pada bagaimana individu itu memberikan ‘makna’ terhadap jilbab yang mereka kenakan.
Makna yang mereka berikan terhadap jilbab yang mereka kenakan menunjukan kesubyektifan atas diri pribadi mereka. Untuk kemudian melalui jilbab yang mereka kenakan, mereka seolah tidak hanya ingin menutupi bagian – bagian tubuh mereka semata tetapi lebih daripada itu mereka mampu memberikan makna yang lebih jauh dari itu sebagai bentuk representasi atas keinginan subyektif yang ada pada diri pribadi mereka. Dimana sebagai konsekuensinya orang lain dengan dengan pikiranya akan memberikan persepsi yang berbeda (relatif) atas jilbab yang mereka kenakan. Sehingga dalam kajian ini, jilbab bukan berarti sebagai sehelai kain yang berfungsi untuk menutupi bagian tubuh semata. Tetapi jilbab dapat bermakna lain bagi individu (wanita muslim) yang mengenakanya.

DAFTAR PUSTAKA
Barnard, Malcolm. 1996. Fashion as Communication. Routledge.
Douglas J.Goodman, George Ritzer. 2004. Teori Sosiologi Modern. Jakarta. Kencana
http://communicare-santi.blogspot.com/2007/08/jilbab-gaul-ketika-budaya pop.html/Diakses tanggal 29 Desember 2010 pukul 14.45 WIB
http://nisa-education.blogspot.com/2009/12/apa-itu-jilbab-apa-pengertian-jilbab.html
http://daniabreaker.blogspot.com/2009/04/dramaturgi-erving-goffman.html

Kamis, 01 Juli 2010

PELACURAN BERSERAGAM SEKOLAH

Oleh :
Ghufronudin
Mahasiswa Pendidikan Sosiologi Antropologi
Universitas Sebelas Maret Surakarta

Ditengah hiruk-pikuknya masalah pendidikan di negeri ini karena disibukkan dengan penerimaam siswa baru ataupun mahasiswa baru, tidak menjadikan masalah yang satu ini hilang begitu saja. Diakui atau tidak, pelacuran berseragam sekolah tetap ada. Hasil investigasi sebuah stasiun TV swasta di negeri ini tentang pelacuran di balik seragam sekolah membuat prihatin banyak pihak. Betapa tidak, jumlahnya ternyata cukup banyak dan menjadi preseden buruk bagi dunia pendidikan kita. Harus diakui keberadaannya susah-gampang-gampang untuk dibuktikan. Namun kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa mereka benar adanya. Tidak heran mereka sudah mempunyai predikat sendiri, semisalayamsekolahataupunayamkampus.

Penulis tertarik untuk menulis ini karena mereka termasuk orang-orang kreatif yang mampu memanfaatkan potensi diri walaupun dengan jalan yang tidak baik. Mereka pandai memanfaatkan seragam sekolah sebagai media mencari keuntungan dan kenikmatan sendiri. Seragam sekolah dijadikan daya tarik untuk mencari pelanggan dan sekaligus dijadikanpelindungbagikegiatanmaksiatnya.

RemajadanPencarianDiri

Masa remaja adalah masa peralihan dari masa anak-anak ke masa dewasa. Peralihan ini meliputi semua perkembangan yang dialaminya sebagai persiapan memasuki masa dewasa. Dalam proses memasuki masa dewasa, remaja mengalami perubahan baik secara fisik maupun psikologis. Remaja dianggap sudah tidak seperti anak-anak lagi, untuk itu ia dianggap mampu untuk menjadi dewasa.ia pun harus siap berhadapan dengan berbagai masalah.

Bambang Y Mulyono, menyebutkan bahwa dalam masa remaja seseorang juga mengalami perkembangan seksualitas. Oleh karena itu, mulai timbul dorongan-dorongan seksual yang kadang-kadang kuat sekali. Apabila mereka tidak dapat atau tidak mampu menahan dorongan ini, terutama karena ego mereka kurang dewasa maka mudah sekali remaja tersebut terjerumus dalam hubungan seksual. Pada masa remaja, terutama perubahan jasmani menyangkut segi-segi seksual biasa terjadi di antara umur 13-14 tahun. Perubahan-perubahan ini biasanya berjalan sampai umur 20-21 tahun. Oleh karena itu, masa remaja biasanya dianggap terjadi di antara umur 13-21 tahun. Di sini masa-masa kritis dialami oleh remaja.

Perkembangan remaja secara fisik apat dilihat dari perubahan yang sangat mencolok pada anak wanita dengan melihat pertambahan berat badan terutama disebabkan oleh bertambahnya jaringan pengikat di bawah kulit, terutama pada paha, pantat, lengan atas dan dada. Sedangkan pada anak pria lebih disebabkan oleh makin bertambah kuatnya susunan uratdaging.

Secara psikologis perkembangan remaja meliputi perkembangan intelektual, emosional, dan identitas. Perkembangan intelektual remaja menyebabkan ia mampu memikirkan dirinya sendiri dan hal ini membuat remaja mempunyai ide-ide berlebihan yang disertai dengan teori-teori dan sikap kritis. Perkembangan emosional berhubungan dengan ego atau ke-akuan. Emosional pada remaja tidak tetap, hal ini menyebabkan remaja sering kali rentan pada perkembangan ini. Perkembangan identitas juga menjadi sangat rentan bagi remaja. Berusaha mencari tahu siapa aku ini, apa jadinya aku, mau apa aku dan seterusnya. Pertanyaan-pertanyaan tersebut muncul di benak remaja. Tidak heran jika banyak remaja yang pada proses pencarian identitas diri mengalami proses perubahan yang cukup cepat. Pada satu sisi mereka ingin diakui, namun di sisi lain mereka belum siap untuk menjadi diri merekasendiri.

BerlindungdiBalikSeragamSekolah

Pada umumnya orang akan mengecam bahkan mengutuk pelacuran itu, namun demikian ada pula yang bersimpati kepada mereka. Kendati banyak yang mengutuknya tidak dapat dipungkiri bahwa pelacuran berseragam sekolah tetap ada. Kartini Kartono dalam bukunya Pathologi Sosial (1981) menuliskan bahwa pelacuran yang sering disebut sebagai prostitusi (dari kata Latin prostituere atau prostauree) adalah membiarkan diri berbuat zinah, melakuan persundalan, percabulan, pergendakan. Selain itu, Bonger dalam Gilbert dan Reinda (1996), menyatakan bahwa prostitusi adalah gejala kemasyarakatan dengan wanita yang menjual diri dan melakukan perbuatan tersebut sebagai mata pencaharian.

Hellen Buckingham seperti dikutif A.N. Krisna (1979), pelacuran adalah hasil langsung dari usaha perekonomian seorang wanita. Pelacuran adalah profesi wanita yang paling purba, di mana untuk pertama kalinya seorang wanita memperoleh penghasilannya, dan hasilnya yang paling langsung lantaran modalnya adalah dagingnya sendiri.

Dalam majalah Jakarta-Jakarta ditulis, kalau anda menjumpai cewek pelajar menggunakan baju seragam agak tipis, menerawang, maka besar kemungkinan itulah cewek yang anda cari. Kode lain konon adanya tempelen tensoplast pada badge lokasi sekolah yang dijahit pada lengan baju. Namun menurut Gilbert dan Reinda (1996), tanda-tanda inipun seringkali berubah-ubah. Biasanya setelah arti suatu tanda terbongkar luas, mereka membuat tanda rahasia baru. Gilbert dan Reinda menemukan bahwa tahun 1982-1984, tanda yang digunakan adalah tali sepatu yang diikat ke belakang. Tahun 1984-1986, tandanya tensoplast yang ditempel pada tas sekolah dan satu jari (biasanya ibu jari) memakai pewarna kuku. Biasanya juga mereka memakai anting-anting lebih dari satu pada telinga kiri.

Bahkan lebih garang lagi laporan Majalah Lisptik. Banyak mall di Jakarta yang dipadati pelajar dan baju seragam yang dipakai tampa badge lokasi sekolah, dan "anehnya" mereka tampa menggunakan BH. Konon kata security di sana, mereka bisa diajak kencan.

Untuk mengetahui jelas memang agak susah. Selintas mereka sama seperti pelajar kebanyakan. Mereka seolah-olah mencari suatu barang di pasar ataupun pusat perbelanjaan. Jika bertemua sesama wanita mereka terlihat biasa saja, namun jika bertemu dengan lawan jenis maka reaksi mereka agak berlebihan bahkan sengaja mencari perhatian, terlebih jika menemui orang yang tampan atau sudah berumur namun necis (biasanya mereka memperhatikan baju, celana, HP, jam tangan, ikat pingggang, dan pena).

Di pusat perbelanjaan, mereka biasanya berkelompok 2-5 orang. Gaya serta tingkah laku mereka memang sengat dibuat-buat, terlebih jika ada mangsa maka mereka sengaja mencari perhatian. Misalnya bagi mangsa yang berumur dan necis, dengan menanyakan waktu, menanyakan nomor telpon tertentu, dan lainnya. Jika yang seumuran cukup dengan pandangan mata, kedipan, maupun senyuman maka semuanya bisa berlanjut pada pembicaraan. Tidak jarang jika mereka pakai mobil cara-cara yang digunakan misalnya dengan membunyikan klakson pendek sebanyak tiga kali, memainkan lampu, dan melambaikan tangan tanda kenal. Jika si mangsa mengerti maka dapat langsung berlanjut

Mengenai tempat mangkal pasti, mereka berbeda dengan PSK (Penjaja Seks komersil) kebanyakan. Layaknya pelajar, mereka lebih senang beroperasi di pusat-pusat perbelanjaan, diskotek-diskotek, dan tempat-tempat nongkrong remaja kebanyakan. Bahkan pengelola sebuah diskotek di Jakarta mengaku sengaja memberikan free-pass atau card kepada mereka untuk masuk gratis dengan alasan mereka dapat memancing banyak tamu untuk datang.

ApaSebabnya?
Banyak diantara mereka yang merupakan siswa yang masih aktif di sekolah. Di sekolah kelakuan mereka kadang tidak berbeda dengan siswa lainnya. Jika demikian, mengapa merekaberbuatsepertiitu?

Dr. Ali Akbar mengemukakan beberapa alasan mengapa wanita menjadi pelacur, antara lain : pertama, tekanan ekonomi sehingga terpaksa menjual diri sendiri dengan jalan dan cara yang paling mudah. Kedua, tidak puas dengan apa yang ada, sebab tidak dapat membeli barang-barang yang bagus dan mahal. Ketiga, karena sakit hati akibat telah dinodai kekasihnya dan ditingggalkan begitu saja. Keempat, karena tidak puas dengan kehidupanseksualnyaatauhiperseksual.

Sedangkan Kartini Kartono menyebutkan bahwa salah satu penyebab pelacuran karena pada masa kanak-kanak pernah melakukan hubungan seks atau suka melakukan hubungan seks sebelum perkawinan, sekedar menikmati masa indah pada masa muda. Atau sebagai simbol keberanian telah menjalani dunia seks secara nyata. Selanjutya terbiasa melakukan hubungan seks secara bebas dengan banyak pemuda sebaya, kemudian terperosok ke dalam dunia pelacuran. Penyebab lainnya, karena termakan bujuk rayu kaum laki-laki, kehidupan keluarga yang broken home, anak gadis yang memberontak terhadap otoritas orang tua yang menekankan banyak hal yang tabu dan peraturan seks, dan ajakan teman-teman yang telahterjundahulukedalamduniapelacuran.

ProsesPenyadaran

Jika sudah diketahui penyebabnya, apakah kita dapat menghentikan atau menyadarkan mereka. Memberikan pengertian bahwa perbuatan mereka adalah hal yang dilarang tidak saja menurut agama tetapi juga menurut norma sosial yang ada di masyarakat. Namun kadang yang membuat mereka sulit untuk berubah adalah sikap masyarakat itu sendiri. Karena telah menggunakan seragam sekolah untuk kepentingan sendiri, sepertinya masyarakat sangat sulit menerima sadarnya mereka (mungkin itu juga sebagai hukuman). Tapi bagaimanapun juga, sebagai manusia kita patut mendukung dan memberikan kesadaran agar mereka berubah dan mengembalikan seragam sekolah sebagaimana mestinya.

Pepatah menyebutkan, "lebih baik terlambat dari pada tidak sama sekali". Kiranya patut untuk menjadi bahan pemikiran bagi proses penyadaran mereka. Dewasa ini banyak lembaga-lembaga sosial kemasyarakatan yang peduli dengan mereka. Salah satunya adalah Komnas Perlindungan Anak, yang secara konsens membela hak-hak anak dan memberikan konsultasi dan advokasi bagai permasalahan anak. Termasuk diantaranya tentang pelacuran berseragam sekolah. Disaat pemerintah disibukkan dengan berbagai persoalan lain di negeri ini, keberadaan Komnas Perlindungan Anak ini menjadi sangat penting. Patut didukung usahamerekadalamrangkamenyelamatkangenerasibangsaini.

Benteng utama adalah orang tua dan keluarga. Disinilah anak bersosialisasi sebelum berinteraksi dengan lingkungannya (masyarakat). Namun belum cukup jika hanya itu, lingkungan ynag sehat dan terbebas dari pelacuran jika menjadi faktor penentu. Terlebih sekolah yang diharapkan mampu memberikan pendidikan bagi kedewasaannya kelak mampu menjalankan fungsinya secara benar maka kita dapat tenang bahwa anak kita terhindardaripelacuran.

Orang tua dan Kelurga hendaknya mewaspadai anak jika mempunyai keinginan untuk selalu keluar main dengan temannya tampa alasan yang rasional. Juga jika dikamarnya ditemukan barang-barang mewah ataupun mahal yang tidak kita berikan patut untuk dipertanyakan. Bertanya dengan penuh kasih tampa langsung menuduh yang tidak-tidak. Patut juga ditanya jika si anak pergi sekolah ataupun keluar, ditanya dengan siapa dan rencanya kemana saja. Hal-hal kecil ini setidaknya menjukkan perhatian kita, juga menjadi bahanpencarianjikaadahal-halyangterjadidiluarkebiasaan.

Apalah artinya uang saku anak yang banyak tetapi mereka kurang perhatian. Orangtua sibuk dengan urusan masing-masing, si anak sibuk dengan temannya. Tak ada komunikasi yang terjalin secara intens, akhirnya rumah hanya menjadi tempat tidur istirahat malam.

Menyerahkan anak sepenuhnya kepada sekolah juga bukan tindakan yang tepat. Perlu diingat bahwa intensitas anak di sekolah hanya berlangsung selama 7-8 jam sehari sedangkan sisi waktunya adalah dengan keluarga. Artinya, sekolah tidak dapat menjamin bahwa kelakuan anak anda akan selalu baik.

Sigmund Freud menyebutkan bahwa titik tolak dari kekerasan yang dilakukan seseorang berasal dari keluarga (termasuk segala bentuk penyimpangan). Karenanya, jadikanlah keluarga anda sebagai keluarga yang menjadi teladan bagi anak-anaknya, semoga.

Tri \ayat Ariwibowo, S.Pd
Guru SMKN 3 dan SMAN 3 Banjarbaru
Topik: Sisi Lain Pendidikan
Tanggal: 19 April 2008
Email : aryasadewa@yahoo.com Jud



Komentar ;
Memang tdak bisa dipungkiri bahwa tindakan prostitusi atau pelacuran yang berkedok seragam sekolah adalah benar adanya. Hal ini semakin dikuatkan dengan penelitian yang dilakukan para ahli dibidang psikologi atau kriminologi mengenai kasus fenomena ini. Ditemukanya modus beserta bukti-bukti tindakan mereka yang dengan sengaja memanfaatkan identitas seragam sekolahnya demi kepentingan mereka sendiri tentulah hal ini membuat citra dunia pendidikan Indonesia semakin tercoreng. Ditengah carut marutnya problema pendidikan yang tengah melanda negeri ini, persoalan pelacuran berseragam sekolah semakin menambah panjang deret permasalahan pendidikan yang sulit dalam pemecahanya.
Seperti yang telah kita ketahui bersama bahwa masa remaja merupakan masa dimana seseorang mencari jati dirinya. Remaja mulai mencari tahu identitas mengenai siapa dirinya. Dalam proses pencarianya pun tak heran jika remaja mengalami perubahan yang sangat cepat. Hal ini disebabkan karena emosi remaja tidaklah tetap sehingga sangat besar peluangnya bagi mereka untuk terjerumus pada hal-hal negative seperti pelacuran ini. Banyak sekali penyebab bagi remaju masuk dalam dunia pelacuran, tapi yang menurut saya paling besar pengaruhnya adalah karena tekanan ekonomi keluarga kerena tidak mampu memenuhi kebutuhanya ( kebutuhan akan barang mewah ) dan juga dorongan bujuk rayu teman sepergaulanya untuik terjun ke dunia itu. Apalagi ketika remaja yang masih sekolah otomatis keinginanya untuk bisa seperti kebanyakan temanya pun semakin besar dan akhirnya mereka akan dengan rela menyerahkan keperawananya guna mendapatkan sesuatu yang mereka inginkan.
Kasus pelcuran berseragam sekola ini harusnya juga menjadi perhatian serius pemerintah, praktisi pendidikan maupun masyarakat agar bisa saling kerjasama menyelesaikan masalah ini. Karena apabila tidak segera diatasi maka tindakan mereka akan semakin “dilegalkan” di balik seragam sekolahnya itu.
Di tengah derasnya perkembangan arus globalisasi seperti saat ini sangatlah besar peluangnya bagi remaja untuk terjun ke arah pergaulan yang tidak baik. Ditambah lagi dengan perkembangan teknologi dan media komunikasi saat ini. Bisa-bisa remaja akan termakan oleh jebakan itu jika remaja salah dalam penggunaanya. Perilaku dan sikap remaja amatlah dipengaruhi lingkungan pergaulanya. Ada ketergantungan pada diri remaja untuk berkekompok dengan teman sepergaulanya. Sehingga bisa dengan mudah remaja akan terpengaruh budaya dalam kelompoknya, Dengan kondisi ini sebaiknya pelajar atau mahasiswa mampu memilih teman yang baik. Teman yang bisa mengarahkan pada kreartfitas hal-hal positif. Remaja harus mampu membentengi dirinya sendiri terhadap gempuran pengaruh-pengaruh negatif. Tentunya dengan landasan nilai dan prinsip yang kuat. Selain itu kelebihan energi yang ada pada diri remaju haruslah di arahkan pada hal-hal positif yang berguna bagi dirinya kelak. Keinginan akan pemenuhan kebutuhan-kebutuhanya pun harus diarahkan oleh keluarga agar remaja mampu mempu membentengi dirinya pada perbuatan pelacuran itu.
Disamping itu sekolah sebagai tempat bagi si remaja untuk menuntut ilmu harusnya mampu memberikan perlindungan kepada anak didiknya. Sekolah sebaiknya tidak hanya mengedepankan kompetensi akan pengusaan ilmu pengetahuan melainkan sekolah harus mampu memberikan pemahaman nilai-nilai moral, kebaikan, budi pekerti dan juga etika pada remaja. Dan juga dengan berbagai wahana yang ada di sekolah diharapkan remaja mampu mengarahkan energi siswa didiknya pada prestasi maupun dalam wujud krearifitas lain. Sekolah juga harus lebih memperhatikan kondisi peserta didik. Seperti salah satunya lewat perantara guru BK ( Bimbingan Konseling ). Dengan demikian diharapakan kasus pelacuran yang berlindung dibalik seragam sekolah tidak terjadi lagi.
Dan yang paling penting dari itu semua yaitu keberfngsian keluarga dalam mendidik, mengajarkan, memberikan kasih sayang dan perlindungan kepada anak. Dalam menyikapi kasus seperti ini keluarga haruslah mampu menunjukan fungsinya dengan maksimal kepada anak. Karana bagaimanapun juga keluarga memegang peranan penting bagi tumbuh kembangnya si anak. Fungsi keluarga sangatlah strategis karena keluarga merupakan tempat pertma kali bagi anak dalam melakukan sosialisasi dalam hidupnya. Lewat keluarga si anak pertama kali belajar nilai-nilai sehingga apabila keluarga mengajarkan sesuatu yang salah maka akan berdampak kurang baik bagi perkembangan si anak. Ketika si anak memasuki masa remaja, keluarga harus memberikan pendidikan, pengawasan, kasih sayang, dan perlindungan yang lebih kepada anak. Tetapi bukan dengan mengekang kebebasan “ over protektif “ bagi si anak. Melainkan orang tua harus mampu menjadi sahabat bagi anak. Sehingga dengan orang tua memposisikan seperti itu setiap kali anak menghadapi permasalahan maka anak dan orang tua bisa menjadi partner yang baik dalam menyelesaikan masalah. Atau dengan kata lain fungsi afeksi keluarga harus dijalankan keluarga dengan maksimal. Pemahaman anak akan nilai-nilai kegamaan juga amatlah penting ditanamkan pada pribadi anak. Dengan landasan agama yang kuat anak menjadi tidak mudah terpengaruh hal-hal negatif. Apalagi pada saat remaja, tentulah landasan agama amatlah penting untuk membentengi emosi remaja yang labil.

Perilaku Menyimpang Masyarakat Kumuh

Oleh :
Ghufronudin
Mahasiswa Pendidikan Sosiologi Antropologi
Universitas Sebelas Maret Surakarta

Penduduk yang menempati pemukiman kumuh di DKI Jakarta adalah kaum migran yang pada umumnya berpenghasilan rendah yang tidak dapat mencukupi kebutuhan hidupnya di daerah asal. Dari keadaan ekonomi yang buruk, masyarakat desa terdorong untuk datang kekota-kota terdekat dengan harapan akan mendapatkan pekerjaan dalam rangka usaha melakukan perbaikan kualitas hidupnya. Kecepatan migrasi ini juga didorong oleh pembangunan kota dan sekitarnya—seperti perluasan kawasan industri dan perdagangan, merupakan daya tarik tersendiri bagi penduduk desa dan tepian kota untuk bekerja di kota. Setelah mereka sampai di kota, ternyata mereka pada umumnya tidak cukup memiliki kamampuan untuk mendapatkan pekerjaan yang layak, disebabkan kurangnya keterampilan, tanpa modal usaha, tempat tinggal tak menentu, rendahnya penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, rendahnya daya adaptasi sosial ekonomi dan pola kehidupan kota. Kondisi yang serba terlanjur, kekurangan dan semakin memprihatinkan itu mendorong para pendatang tersebut untuk hidup seadanya, termasuk tempat tinggal yang tidak memenuhi syarat kesehatan.
Sasaran tempat tinggal para pendatang pada umumnya di pusat-pusat perdagangan, seperti pasar kota, perkampungan pinggir kota, dan disekitar bantaran sungai kota. Kepadatan penduduk di daerah-daerah ini cenderung semakin meningkat dengan berbagai latar belakang sosial, ekonomi, budaya dan asal daerah. Perhatian utama pada penghuni permukiman ini adalah kerja keras mencari nafkah atau hanya sekedar memenuhi kebutuhan sehari-hari agar tetap bertahan hidup, dan bahkan tidak sedikit warga setempat yang menjadi pengangguran. Sehingga tanggungjawab terhadap disiplin lingkungan, norma sosial dan hukum, kesehatan, solidaritas sosial, tolong menolong, menjadi terabaikan dan kurang diperhatikan.
Oleh karena para pemukim pada umumnya terdiri dari golongan-golongan yang tidak berhasil mencapai kehidupan yang layak, maka tidak sedikit menjadi pengangguran, gelandangan, pengemis, yang sangat rentan terhadap terjadinya perilaku menyimpang dan berbagai tindak kejahatan, baik antar penghuni itu sendiri maupun terhadap masyarakat lingkungan sekitanya. Kondisi kehidupan yang sedang mengalami benturan antara perkembangan teknologi dengan keterbatasan potensi sumber daya yang tersedia, juga turut membuka celah timbulnya perilaku menyimpang dan tindak kejahatan dari para penghuni pemukiman kumuh tersebut. Kecenderungan terjadinya perilaku menyimpang (deviant behaviour) ini juga diperkuat oleh pola kehidupan kota yang lebih mementingkan diri sendiri atau kelompokya yang acapkali bertentangan dengan nilai-nilai moral dan norma-norma sosial dalam masyarakat.
Perilaku menyimpang pada umumnya sering dijumpai pada permukiman kumuh adalah perilaku yang bertentangan dengan norma-norma sosial, tradisi dan kelaziman yang berlaku sebagaimana kehendak sebagian besar anggota masyarakat. Wujud perilaku menyimpang di permukiman kumuh ini berupa perbuatan tidak disiplin lingkungan seperti membuang sampah dan kotoran di sembarang tempat. Kecuali itu, juga termasuk perbuatan menghindari pajak, tidak memiliki KTP dan menghindar dari kegiatan-kegiatan kemasyarakatan, seperti gotong-royong dan kegiatan sosial lainnya. Bagi kalangan remaja dan pengangguran, biasanya penyimpangan perilakunya berupa mabuk-mabukan, minum obat terlarang, pelacuran, adu ayam, bercumbu di depan umum, memutar blue film, begadang dan berjoget di pinggir jalan dengan musik keras sampai pagi, mencorat-coret tembok/bangunan fasilitas umum, dan lain-lain. Akibat lebih lanjut perilaku menyimpang tersebut bisa mengarah kepada tindakan kejahatan (kriminal) seperti pencurian, pemerkosaan, penipuan, penodongan, pembunuhan, pengrusakan fasilitas umum, perkelahian, melakukan pungutan liar, mencopet dan perbuatan kekerasan lainnya.
Seperti telah diuraikan pada Latar Belakang, bahwa kaum migran yang bermukim di kota memiliki aktivitas ekonomi yang berbeda dari aktivitas pada waktu mereka masih di daerah asalnya, keadaan seperti itu cenderung menimbulkan masalah-masalah baru yang menyangkut: (a) masalah persediaan ruang yang semakin terbatas terutama masalah permukiman untuk golongan ekonomi lemah dan masalah penyediaan lapangan pekerjaan di daerah perkotaan sebagai salah satu faktor penyebab timbulnya perilaku menyimpang, (b) masalah adanya kekaburan norma pada masyarakat migran di perkotaan dan adaptasi penduduk desa di kota, (c) masalah perilaku menyimpang sebagai akibat dari adanya kekaburan atau ketiadaan norma pada masyarakat migran di perkotaan. Disamping itu juga pesatnya pertumbuhan penduduk kota dan lapangan pekerjaan di wilayah perkotaan mengakibatkan semakin banyaknya pertumbuhan pemukiman-pemukiman kumuh yang menyertainya dan menghiasi areal perkotaan tanpa penataan yang berarti.
Penataan permukiman sebagai satu aspek dalam proses pembangunan, belum menampakkan hasil yang memuaskan dan belum mewujudkan suatu kondisi pemerataan penataan pemukiman yang seimbang. Pembebasan areal perkampungan kumuh dibeberapa bagian kota, pada kenyataannya hanya memberi keuntungan bagi sekelompok anggota masyarakat tertentu, yaitu kelompok menengah ke atas.
Berdasarkan hal tersebut di atas, seberapa jauh pengaruh lingkungan permukiman kumuh terhadap perilaku penghuninya, juga telah diteliti oleh Clinard, Abbot dan Paul Bell di Uganda-Afrika. Kondisi pemukiman kumuh—atau yang disebut dalam penelitian itu dengan slum area, berpengaruh pada tingginya angka kejahatan, hal itu antara lain disebabkan karena kurangnya fasilitas di permukiman kumuh, listrik, drainase, tempat buang sampah, WC yang teratur, yang semuanya jauh dari layak.
Akibat lain dari minimnya sarana dan prasarana tersebut menimbulkan pula berbagai perilaku menyimpang, dan bahkan kejahatan sebagai problem sosial seperti pencurian, pekelahian, keapatisan, membuang kotoran disembarang tempat dan sebagainya. Sepanjang tidak tertanggulanginya masalah-masalah pada permukiman kumuh dengan sosial approach-nya, sepanjang itu pula perilaku menyimpang dan kejahatan akan terus terjadi dan meningkat. Temuan Abbot juga menjelaskan bahwa mabuk-mabukan, pelacuran, kenakalan anak dan remaja dan bentuk-bentuk lain penyakit masyarakat secara otomatis melekat pada ciri-ciri lingkungan permukiman kumuh (Clinard dan Abbott, 1973).
Sumber : Dikuitp dari artikel Zuryawan Isvandiar Zoebir
Analisis
Diwilayah perkotaan dampak migrasi merupakan masalah pokok yang harus dihadapi, oleh karena akibat-akibatnya seperti “urbanisasi sebagai suatu cara hidup” (pemusatan penduduk di dalam kota dianggap sebagai suatu cara hidup individu, serta interaksi antara individu). Lahirnya corak hidup kaum urban (individu yang ekstrim, penuh perhitungan dan sifat bersaing, mementingkan penampilan luar, menekankan hal-hal yang bersifat pribadi, sifat acuh tak acuh dan sifat agresifitas warga kota). Pertentangan-pertentangan disekitar konsumsi kolektif, perampasan tanah kota atau pengusiran-pengusiran penghuni-penghuni liar, konflik budaya dan lain sebagainya. Hal-hal tersebut tidak dijumpai di daerah perdesaan. Sifat khas penuh gotong royong, tolong menolong antar warga dan ramah tamah dalam ikatan pedesaan yang kental, sangat bertolak belakang dengan yang dijumpai di daerah perkotaan. Benturan-benturan inilah yang menyebabkan penduduk pendatang merasa asing dan frustrasi disamping mereka harus terus mempertahankan hidup, dilain pihak mereka merasa tidak mampu menghadapi persaingan yang keras untuk hidup di perkotaan.
Penduduk kota yang semakin membengkak ini sudah barang tentu akan menyebabkan timbulnya berbagai kerawanan sosial di perkotaan. Para migran dari desa ketika pertama kali datang ke kota akan mengalami kesulitan-kesulitan, baik dalam memperoleh prasarana hidup di kota, maupun bebab psikologis yang dihadapi terhadap lingkungan perkotaan. Terjadinya benturan dari kebiasaan lama ke kebiasaan baru yang pada akhirnya menimbulkan krisis identitas yang merupakan manifestasi dari ketiadaan norma (anomie), yakni kesenjangan antara ditinggalkannya norma tradisional yang mereka hayati sewaktu tinggal di desa dengan diterimanya norma baru di kota. Keadaan ini akan memudahkan para migran melakukan perbuatan yang melanggar norma (perilaku menyimpang) ataupun terjerumus ke dalam tindakan-tindakan kejahatan
Ada berbagai informasi yang memungkinkan kita mendapatkan pemahaman tentang tindakan kriminal sebagai bagian dari perilaku menyimpang (deviance), yaitu suatu perilaku yang tidak disukai, disetujui, atau tidak dikehendaki oleh sebagian masyarakat. Artinya, perilaku menyimpang merupakan suatu tindakan yang tidak sesuai dengan apa yang diharapkan oleh norma-norma sosial yang berlaku didalam masyarakat. Timbulnya perilaku menyimpang tidak hanya disebabkan oleh faktor individu saja, tetapi juga dipengaruhi oleh faktor-faktor lain, seperti faktor lingkungan sosial ataupun faktor masyarakat. Oleh karenanya, perilaku menyimpang bukan semata-mata produk pribadi seseorang, tetapi juga dibentuk dari hubungan dengan masyarakat karena adanya pergeseran dan perkembangan masyarakat dari situasi terentu ke situasi yang lain, terutama akibat modernisasi dan derasnya kemajuan informasi pada saat ini. Disamping itu, proses sosial perilaku menyimpang senantiasa berdampingan dengan perkembangan masyarakat dan kebudayaan, ini berarti didalamnya terdapat benturan-benturan nilai, baik benturan nilai-nilai kemasyarakatan maupun benturan nilai-nilai kebudayaan. Benturan nilai-nilai kemasyarakatan adalah kondisi yang tidak seimbang antara interpertasi masyarakat tentang standar tata nilai yang sedang berlaku. Sedangkan benturan nilai-nilai kebudayaan adalah kondisi yang tidak seimbang antara perkembangan kebudayaan yang bersifat material dengan kebudayaan yang bersifat moral. Misalnya, antara perkembangan teknologi dengan kemampuan manusia dalam memanfaatkannya demi kesejahteraan manusia itu sendiri. Kalau tidak, justru teknologi itu yang akan mempengaruhi manusia. Kalau sudah demikian, maka tidak mustahil akan timbul berbagai penyimpangan yang akhirnya dapat menimbulkan kejahatan.
Disamping itu pula pada umumnya para pendatang baru itu adalah orang-orang yang tidak mampu dalam segi ekonomi (ekonomi lemah). Jika pada daerah yang baru (kota) mereka tidak cukup mempunyai bekal keterampilan dan kesanggupan untuk berjuang dalam berbagai kekerasan, persaingan hidup, maka kesukaran-kesukaran di dalam mencukupi kebutuhan hidupnya tidak bisa diatasi, sehingga dapat menimbulkan perilaku menyimpang dan bahkan kejahatan. Latar belakang lain yang erat kaitannya dengan tumbuhnya permukiman kumuh adalah akibat dari ledakan penduduk di kota-kota besar, baik karena urbanisasi maupun karena kelahiran yang tidak terkendali. Lebih lanjut, hal ini mengakibatkan ketidakseimbangan antara pertambahan penduduk dengan kemampuan pemerintah untuk menyediakan permukiman-permukiman baru, sehingga para pendatang akan mencari alternatif tinggal di permukiman kumuh untuk mempertahankan kehidupan di kota.

Analisis Faktor Penyebab Perceraian Di Desa Tumang, Cepogo, Boyolali

oleh :
Ghufronudin
Mahasiswa Pendidikan Sosiologi Antropologi
Universitas Sebelas Maret Surakarta


Keluarga merupakan suatu kelompok primer yang dibentuk atas dasar hubungan cinta kasih antara suami – istri yang memutuskan untuk hidup bersama dalam sebuah ikatan keluarga lewat perkawinan ( pernikahan ). Secara mendasar keluarga terdiri atas suami, istri dan anak. Masing – masing mempunyai peranan dan status sosial yang berbeda baik di dalam keluarga maupun dalam masyarakat. Dalam keluarga terdapat sistem jaringan interaksi yang lebih bersifat interpersonal artinya masing – masing anggota keluarga dimungkinkan mempunyai intensitas hubungan satu sama lain yakni antara ayah dan ibu, ayah dan anak, ibu dan anak maupun antara anak dengan anak.
Seperti telah dijelaskan di atas bahwa keluarga terbentuk atas dasar hubungan cinta kasih antara suami – istri yang telah berkomitmen membangun sebuah keluarga lewat pernikahan. Pada awalnya suami – istri berkomitmen untuk hidup bersama dalam ikatan perkawinan dengan harapan mendapatkan kebahagiaan yang abadi. Tetapi yang namanya kebagiaan tidak akan datang selamanya. Perjalanan hidup sebuah keluarga pasti diwarnai dinamika kehidupan dalam setiap episodenya. Ada saatnya sebuah keluarga hidup secara bahagia dengan segala kecukupan dan kehormonisan yang terjalin antar anggota keluarga. Tapi ada saatnya juga sebuah keluarga mengalami keterjeratan dalam masalah – masalah keluarga. Sumber masalahnya pun bisa datang dari internal keluarga itu sendiri maupun dari faktor ekternal seperti masyarakat.
Disorganisasi Keluarga ( Perceraian )
Salah satu masalah yang sering dialami keluarga sekarang ini adalah masalah “Disorganisasi Keluarga” yaitu merupakan suatu bentuk kelemahan – kelemahan, ketidaksesuaian (mal adjustment) atau putusnya jalinan ikatan anggota – anggota dari kelompok bersama. Disorganisasi keluarga dapat terjadi tidak hanya karena ketegangan – ketegangan antara suami dan istri, tetapi juga antara orang tua dan anak serta antara saudara kandung. Ketegangan antara suami dan istri adalah lebih serius daripada daripada ketegangan yang terjadi antara orang tua dan anak. Walaupun ketegangan antara anak dan orang tua juga merupakan persoalan serius tetapi meskipun demikian apabila terjadi ketegangan antara anak dan orang tua yang berujung pada penolakan tetap ikatan keluarga masih bisa berlangsung.
Hubungan perkawinan antara suami dan istri merupakan ikatan sentral persatuan keluarga dalam masyarakat. Apabila ikatan ini pecah maka keluarga juga akan pecah. Sedemikian vitalnya peranan ikatan hubungan antara suami dan istri. Keduanya saling memegang fungsi dan peranan masing – masing dalam menjaga eksistensi sebuah keluarga. Sehingga masa depan kelangsungan sebuah keluarga amatlah ditentukan oleh peranan hubungan antara suami dan istri.
Faktor Dominan
Sekarang ini masalah disorganisasi keluarga ( perceraian ) memang merupakan masalah yang sudah dinggap masyarakat sebagai masalah yang biasa. Dalam artian masyarakat kini menganggap perceraian sebagai hal yang wajar ( lumrah ) sebagai suatu solusi atas kemelut yang terjadi. Terlebih pada masyarakat modern, kini dengan adanya pendidikan mampu memberikan ruang yang sangat besar untuk istri mampu mengembangkan karirnya seperti suaminya. Bahkan tidak menutup kemungkinan untuk istri bisa menduduki peranan yang lebih tinggi dari pada suami. Hal demikian yang akhirnya memicu adanya konflik peranan antara pasangan suami – istri yang seringkali berujung pada perceraian.
Berbeda dengan faktor penyebab perceraian pada tipe masyarakat tradisional. Pada masyarakat tipe ini salah satu faktor dominan penyebab perceraian adalah faktor internal keluarga yang tidak ada sangkut pautnya dengan konflik peranan antara suami – istri. Singkatnya adalah faktor penyebab perceraian pada tipe masyarakat tradisional belumlah sekompleks pada masyarakat modern. Seperti yang terjadi di daerah penulis yakni di Desa Tumang Kecamatan Cepogo Kabupaten Boyolali. Di daerah itu salah sati faktor dominan penyebab perceraian adalah karena adanya suatu ketidakcocokan antara suami dan istri sebagai salah satu bentuk akibat adanya paksaan dari orang tua pada anak untuk segera menikah dengan calon yang sudah ditentukan oleh orang tuanya dahulu ketika mereka belum menikah. Bersumber dari data Bp. Bambang selaku Modin ( orang yang biasa mengurus perihal pernikahan dan perceraian pada suatu desa ) di desa penulis yakni antara tahun 2005 – 2009 faktor utama penyebab perceraian adalah karena adanya paksaan dari orang tua kepada anak untuk segera menikah pada calon yang sudah terlebih dahulu ditentukan oleh orang tua. Perincianya yaitu tahun 2005 ada kasus Talak satu dari suami kepada istri karena suami dipaksa orang tuanya menikah dengan calon istri yang ditentukan orang tuanya. Sehingga sang suami di tengah perjalanan kehidupan keluarganya merasa tidak bisa cocok dengan istrinya tersebut yang pada akhirnya perceraian menjadi solusi atas masalah mereka.
Pada tahun 2006 ada kasus satu perceraian dan kasus talak. Sama dengan kasus talak yang terjadi pada tahun 2005, di tahun 2006 inipun penyebabnya sama yakni suami dipaksa menikah dengan isrti pilihan orang tuanya. Karena dipaksa akhirnya laki – laki mersa tidk menemukan kecocokan dengan istrinya sehingga laki – laki memutuskan menjatuhkan talak kepada istri. Sedangkan kasus perceraianya disebabkan karena suami meninggalkan istri dan anak – anaknya selama berbulan – bulan tanpa ada kejelasan hingga kini. Pada tahun 2007 ada satu kasus perceraian yang disebabkan karena faktor ekonomi. Dimana laki – laki yang posisinya ikut keluarga perempuan karena alas an ekonomi keluarga perempuan menyebabkan laki – laki tidak betah sehingga akhirnya laki – laki untuk meminta cerai pada istri. Pada tahun 2008, juga terjadi satu kasus perceraian dimana faktornya adalah laki – laki sering pulang larut malam bahkan seringkali tidak pulang ke rumah. Karena faktor ini perempuan menggugat cerai laki – laki. Sedangkan pada tahun 2009 terjadi kasus talak berjumlah satu kasus dimana faktor peneyababnya adalah laki – laki dipaksa menikah oleh orang tua laki – laki dengan perempuan yang telah ditentukan orang tuanya. Di tengah perjalanan hidup berumah tangga laki – laki merasa sudah tidak memiliki kecocokan lagi dengan perempuan sehingga laki – laki menjatuhkan talak kepada perempuan. Masih di tahun 2009, selain kasus talak juga terjadi satu kasus perceraian dimana faktor penyebabnya adalah laki – laki yang posisinya ikut bertempat tinggal dirumah perempuan merasa tidak betah untuk tinggal disitu lagi karena sering terjadi cekcok dengan mertua yang disebabkan mertua sering mencampuri urusan pribadi keluarga mereka.
Berdasarkan data di atas maka dapat dianalisis bahwa faktor penyebab disorganisasi keluarga ( talak / cerai ) mayoritas disebabkan oleh adanya faktor paksaan orang tua yang memaksa anak mereka menikah dengan calon yang telah ditentukan oleh orang tua. Adanya kebijakan dari orang tua yang demikian memang sangat berpengaruh terhadap masa depan kehidupan keluarga sang anak. Karena memang segala sesuatu yang berawal dari paksaan maka hasilnya tidak akan baik. Dalam sosiologi keluarga menjelaskan bahwa justru karena hal inilah yang pada nantinya akan memicu timbulnya ketegangan – ketegangan hubungan antara suami dan istri dan juga pada hubungan dengan pihak keluarga. Dari akumulasi ketegangan – ketegangan ini pada akhirnya memicu konflik yang terjadi antara suami – istri maupun keluarga. Sehingga pada akhirnya perceraian menjadi solusi ( jalan ) atas masalah itu.
Faktor penyebab lainya yaitu faktor kurangnya komunikasi yang efektif antara suami – istri sehingga keduanya tidak terjalin hubungan yang tidak harmonis. Seperti pada kasus perceraian pad tahun 2006 dan 2008 dimana faktor penyebabnya adalah laki – laki sering pulang larut malam bahkan tidak pulang kerumah sampai berbulan – bulan lamanya. Dari hal ini maka dapat diketahui bahwa kurangnya komunikasi yang efektif dari suami – istri sangat memicu munculnya disorganisasi keluarga. Disamping berdampak pada keluarga pribadi maka lama kelamaan justru akan berdampak pada lingkup keluarga yang lebih luas lagi. Sehingga hubungan komunikasi efektif sangat menentukan keksistensian sebuah bangunan keluarga itu sendiri.
Sumber :
Informasi dari bapak Bambang ( Modin ) Desa Tumang.
H, Khairuddin, 1985. Sosiologi Keluarga. Nur Cahaya. Yogyakarta.

“Pengaruh Perkembangan Teknologi dan Ekonomi Terhadap Keluarga”

oleh :

Ghufronudin

Mahasiswa Pendidikan Sosiologi - Antropologi smt IV

Universitas Sebelas Maret Surakarta


Globalisasi” sebuah istilah yang telah akrab di teliga kita saat ini. Mendengar kata ini pikiran kita langsung tertuju pada sebuah perkembangan, kemajuan maupun perkembangan. Istilah globalisasi adalah sebuah istilah yang memiliki hubungan dengan peningkatan keterkaitan dan ketergantungan antar bangsa dan antar manusia seluruh dunia melalui perdagangan, investasi, perjalanan, budaya populer dan bentuk – bentuk interaksi yang lain sehingga batas – batas suatu negara menjadi bias. Globalisasi dapat membawa berbagai perubahan dalam segala bidang seperti budaya, ekonomi, sosial, politik, ideologi dan lain sebagainya. Disatu sisi, globalisasi membawa konsekuensi positif dan di sisi lain juga membawa sisi negatif.

Dalam bidang teknologi misalnya, bermunculan berbagai alat – alat canggih bertenaga mesin yang menggantikan tenaga manusia. Semakin lama sesuai dengan perkembangan dan penerapan teknik baru tingkat tinggi telah mampu membatasi keluarga dari fungsi – fungsi ekonominya dan sangat mempengaruhi seluruh ciri - ciri sistem sosial sebuah keluarga. Masih banyak dampak di bidang lain yang timbul akibat globalisasi itu. Secara garis besar dengan adanya globalisasi dapat menimbulkan suatu transformasi bentuk baru terhadap bentuk yang sudah ada.


Perubahan Status Wanita ( Istri )

Adanya perkembangan teknologi dan ekonomi membawa konsekuensi terhadap adanya penambahan peran baru bagi wanita (istri). Dimana akibat dari situasi ini adalah semakin bertambahnya jumlah wanita yang bekerja di pabrik – pabrik, perusahaan, maupun di kantor – kantor sebagai ladang penghasilan mereka. Perubahan ini telah menghancurkan paham kuno tentang “laki – laki harus bekerja dan wanita harus di dapur“. Juga pepatah jawa yang mengatakan bahwa “tugas istri hanyalah macak, manak dan masak“. Paham – paham seperti ini kini sudah tidak berlaku lagi dalam tatanan kehidupan masyarakat kita. Umumnya baik di pedesaan maupun di perkotaan suami dan istri sudah sama – sama bekerja. Baik itu didasarkan pada tuntutan sosial maupun karena kebutuhan ekonomi keluarga. Laki – laki (suami) yang dulunya sebagai satu – satunya berperan sebagai tulang punggung keluarga yang bertugas untuk mencari nafkah bagi keluarga, kini tidak hanya suami yang mempunyai peran seperti itu. Wanita (istri) juga berperan sebagai seorang pencari nafkah bagi keluarga sama dengan suami. Fenomena seperti ini tidak hanya berlaku bagi kehidupan masyarakat perkotaan saja yang memang secara sosiologis tatanan masyarakatnya sudah mencerminkan tatanan masyarakat perindustrian. Dalam kehidupan masyarakat pedeesaan pun istri juga memainkan peran sama seperti suami sebagai pencari nafkah. Tapi semua itu lebih didasrakan pada segi ekonomi tidak berdasar atas tuntutan sosial seperti dalam masyarakat perkotaan.


Wanita Karier

Perubahan ini menyebabkan para istri dan suami mempunyai derjat kebebasan yang sama dalam konteks “pembagian kerja“ antara suami dan istri dalam keluarga. Saat ini pekerjaan istri telah terspesialisasikan seperti layaknya kaum laki – laki dan tidak lagi dicurahkan pada tugas – tugas rumah tangga saja. Kemudian muncul istilah “wanita karier“ dimana spesialisasi pekerjaan profesional tertentu melekat pada wanita (istri) yang selain memiliki peran sebagai ibu juga harus memainkan peranya dalam lingkup keprofesionalan pekerjaan itu. Dengan keadaan ini maka timbul konsekuensi lain bagi keluarga. Seperti berkurangya waktu bagi wanita sebagai ibu dalam mendidik mendidik anak – anaknya yang sudah mulai diabaikan. Sebagai solusinya maka pendidikan dan perawatan anak diserahkan kepada Baby Sisters. Karena kesibukan orang tua dengan pekerjaanya itulah yang menyebabkan mereka menyerahkan kepada Baby Sisters itu. Melihat kondisi ini jelas anak lah yang menjadi korbanya. Perhatian dan kasih sayang orang tua menjadi tidak mereka dapatkan pada saat yang sebenarnya sangat mereka butuhkan. Akibatnya anak sulit untuk membangun kedekatan emosional dengan ibunya sendiri.

Secara Ekonomi

Fungsi ekonomi keluarga pada dekade akhir – akhir ini telah mengalami modifikasi dan proses tersebut rata – rata akan berlangsung dengan cepat, Dahulu pembuatan barang – barang termasuk segala kebutuhan keluarga dilakukan semuanya oleh keluarga. Tetapi sekarang dengan adanya pabrik – pabrik telah mengambil alih semua aktivitas – aktivitas itu. Dengan mudahnya sekarang tanpa harus melakukan kerja yang berarti segala kebutuhan mudah untuk dipenuhi. Perubahan – perubahan yamg nyata jelas terlihat dalam aktivitas orang dirumah adalah kini keluarga sudah jarang menggunakan alat – alat masaknya, melainkan banyak dari mereka yang membeli langsung di toko – toko luar. Walaupun tidak secara keseluruhan demikian tetapi paling tidak ada kecenderungan yang seperti itu.

Dengan demikian secara ekomoni, perubahan status pada wanita telah memberi pengaruh pada keluarga sebagai unit ekonomi. Dimana wanita yang juga berperan sebagai seorang pencari nafkah memberikan berbagai konsekuensi dan kesempatan untuk memegang peranan penting dalam ekonomi rumah tangga yang dengan penghasilanya mampu menggerakan ekonomi keluarga. Disisi lain adanya kesempatan bagi wanita untuk melakukan pekerjaan membawa konsekuensi bagi wanita untuk mendaptkan “kekuasaan sosial” dalam keluarga. Dimana dominasi kekuasaan keluarga tidak hanya menjadi milik suami.


Dampak Teknologi

Seperti telah dijelaskan diatas bahwa kemajuan teknologi membawa berbagai dampak dalam berbagai bidang. Berkembangnya kebudayaan materi seperti tingkat penemuan dan inovasi teknologi dan meluasnya industrialisasi merupakan faktor pendorong untuk perubahan keluarga. Dalam konteks pemenuhan kebutuhan hidup, kemajuan teknologi mampu memberikan kemudahan bagi manusia dalam memenuhi segala kebutuhan hidunya. Kemajuan teknologi hadir sebagai “budaya baru” yang mampu menggantikan tugas – tugas manusia dengan tenaga mesin. Teknologi membuat segala yang tidak mungkin menjadi mungkin serta teknologi mampu menhilangkan batas ruang dan waktu. Tetapi di sisi lain kemajuan teknologi justru membawa berbagai dampak negatif. Bahwa seperti yng kita tahu kemajuan teknologi sering disalahartikan oleh manusia untuk berbagai tindak kejahatan yang merugikan orang lain.

Kaitanya dengan keluarga kemajuan teknologi telah membawa berbagai perubahan terhadap peran masing – masing anggota keluarga. Bagi wanita (istri) kemajuan teknologi telah secara perlahan mengurangi perananya dalam keluarga. Berbagai tugas – tugas rumah tangga kini bisa diwakilkan pada alat – alat baru berteknologi canggih sehingga ia tidak perlu melaksankanya lagi. Rutinitas seperti mencuci telah tergantikan oleh mesin cuci, memasak telah tergantikan dengan Rice Cooker dan lain sebagainya. Seolah segalanya serba praktis dan efisien sesuai dengan zaman yang dinamakan oleh para ahli sebagai “zaman tombolisasi”. Dampak lain dari kemajuan teknologi adalah menyebabkan adanya ketergantungan terhadap teknologi pada masing – masing anggota keluarga. Model interaksi langsung yang intim antar sesama anggota keluarga seolah telah berganti dengan model interaksi secara tidak langsung dengan perantara teknologi. Maka interaksi yang terjalin antar sesama anggota keluarga menjadi tidak intim dan harmonis sehingga menyebabkan hubungan ketidakharmonisan dalam keluarga itu sendiri.


Disorganisasi Keluarga

Disorganisasi keluarga adalah perpecahan keluarga sebagai suatu unit, karena anggota-anggotanya gagal memenuhi kewajiban - kewajiban sesuai dengan peran sosialnya. Bentuknya, bisa berupa putusnya perkawinan akibat perceraian, atau adanya gangguan dalam hal komunikasi antar – Individu sebagaimana disebut Goode dalam "Family Disorganization in Contempory Social Problems" sebagai emptyshell family atau rumah tangga hampa.

Perubahan teknologi dan ekonomi telah menyebabkan adanya perubahan dalam keluarga baik fungsi, peran maupun status seseorang dalam keluarga. Kaitanya dengan disorganisasi keluarga adalah pertama, istri mengalami ketidakpuasan terdap perananya jika hanya diposisikan sebagai “ibu rumah tangga” saja. Keadaan seperti ini muncul karena semakin terbukanya kesempatan bagi istri untuk mengaktualisasikan dirinya pada berbagai bidang pekerjaan. Dengan semakin terbukanya berbagai peranan bagi wanita menyebabkan adanya pertentangan satu sama lain dalam hal ini antara suami dan istri. Sekarang dengan istri memiliki kebebasan dalam bekerja sesuai yang diinginkan maka konsekuensinya adalah muncul semacam tekanan pekerjaan, profesi dan kelompok kelas yang membedakan peranan – peranan bagi sang istri. Pada tipe keluarga modern istri diposisikan sebagai partner atau teman dalam urusan bisnis. Sedangkan pada tipe kleuarga tradisional istri diposisikan sebagai seorang pencari uang dan sekaligus sebagai ibu rumah tangga. Dan bagi kebanyakan keluarga menuntut istrii menjalankan semua peranan – peranan itu. Sehingga nantinya akan menyebabkan istri mengalami kesulitan dalam penyesuaian atas peran – peranya itu.

Kemudian dengan situasi seperti itu maka akan memancing konflik – konflik peranan dalam keluarga. Konflik dapat timbul apabiila sang istri memegang peranan yang tidak konsisten. Banyak suami yang merasa keberatan terhadap penerimaan hak oleh istri mereka pada bidang – bidang yang dianggap mereka adalah hak para suami. Konflik – konflik ini sering terjadi pada keluarga yang istrinya bekerja dan berpengahasilan lebih. Dalam artian suami sering mempermasalahkan masalah yang berhubungan dengan pekerjaan istrinya tersebut. Terkadang dengan adannya masalah – masalah seperti itu maka akan menyebakan munculnya ketegangan – ketegangan dalam keluarga karena dengan situasi seperti itu maka justru akan memperkecil proses penyesuaian suami terhadap peran yang dijalankan istrinya. Faktor ini sangat berperan untuk mendorong terciptanya instabilitas keluarga yang dapat mengahncurkan ikatan cinta kasih suami – istri yang telah lama terbangun. Sehingga jika suami tidak dapat menerima konsekuensi dari peran istri maka bukan tidak mungkin akan menyebabkan masalah ini akan menjadi masalah yang serius dan lama kelamaan akan menimbulkan proses disorganisasi dalam keluarga itu sendiri. Proses disorganisasi dalam keluarga (suami – istri) sedikit banyaknya berasal dari konflik yang berlangsung terus – menerus antara suami – istri yang merenggangkan ikatan – ikatan kebersamaan dari pasangan tersebut. Hal ini ditandai dengan hilangnya secara berangsur – angsur tujuan – tujuan bersama dan menjadikan tujuan – tujuan pribadi menjadi lebih penting daripada tujuan – tujuan keluarga, usaha kerja sama yang semakin menurun, tidak terciptanya komunikasi yang baik antara suami – istri serta munculnya pertentangan sikap – sikap emosional antara suami – istri.


Solusi

Menyikapi adanya perkembangan teknologi dan ekonomi yang memicu adanya perubahan yang berpengaruh dalam keluarga, sebaiknya keluarga harus bisa menyiasati semua itu dengan baik. Dalam artian keluarga harus terus berusaha mengembangkan komunikasi yang efektif dan intim terhadap sesama anggota keluarga. Suami harus bisa memahami konsekuensi peran baru sang istri sebagai seorang yang tidak hanya berposisi sebagai “konco wingking” saja. Melainkan suami harus bisa memahami dan sekaligus menerima segala konsekuensi dari peran baru istri tersebut agar nantinya masalah ini tidak mengarah pada ketegangan – ketegagana dalam keluarga yang bisa memicu timbulnya disorganisasi keluarga.

Selain itu berbagai dampak dari perkembangan ekonomi dan teknologi yang berimbas pada menurunya fungsi – fungsi pokok keluarga, sebaiknya keluarga dapat menyikapi keadaan yang demikian berubah itu dengan tetap memperhatikan faktor – faktor yang dapat memicu instabilitas keluarga. Kaitanya dengan teknologi sebaiknya keluarga tidak mensalah artikan dalam menggunakan teknologi tersebut sehingga tidak menganggu keutuhan jalinan komunikasi antar sesama anggota keluarga. Dan pada intinya keluarga harus tetap memiliki jalinan komunikasi efektif yang terbentuk secara intensif dalam keluarga itu agar nantinya dapat tercipta hubungan interpersonal antar sesama anggota keluarga yang baik. sehingga dengan komunikasi efektif itu keluarga akan bisa membentengi setiap pengaruh maupun masalah keluarga baik yang berasal dari dalam maupun dari luar.






Daftar Pustaka


H, Khairuddin. 1985. Sosiologi Keluarga. Yogyakarta: Nur Cahaya.

Soekanto, Soeryono. 2002. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Press.

www.google.com/disorganisasikeluarga/php