Kamis, 06 Januari 2011

MAKNA JILBAB DI KALANGAN MAHASISWI UNS

Oleh :
Ghufronudin (K 8408043)
Pendidikan Sosiologi – Antropologi
UNS Surakarta

ABSTRAK
Penelitian ini berbicara tentang maraknya penggunaan jilbab di kalangan mahasiswi Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta. Sedangkan jilbab yang dimaksud adalah sehelai kain yang berfungsi sebagai penutup kepala, menutup bagian leher dan dada. Permasalahan dari Fenomena maraknya penggunaan jilbab tersebut yaitu Bagaimana makna jilbab di kalangan mahasiswa UNS Beberapa hal yang perlu penulis jelaskan berkenaan dengan penelitian tersebut, Pertama jenis penelitian tersebut bersifat kualitatif, kedua, penelitian tersebut menggunakan pendekatan studi kasus karena dengan pendekatan ini penulis hanya menyelidiki bagaimana fenomena maraknya penggunaan jilbab dikalangan mahasiswa Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta. Ketiga, Metode yang digunakan adalah fenomenologi. Sampel terdiri dari dua kelompok responden dengan rincian setiap kelompok terdiri dari tiga responden, masing masing kelompok memiliki perbedaan dalam hal pemakaian jilbab. Dimana satu kelompok responden memakai jilbab gaul dan kelompok responden kedua memakai jilbab syar’i. Metode utama dalam pengumpulan data adalah depth interview, sedangkan metode pendukung yang digunakan adalah observasi, catatan lapangan dan yang Keempat adalah analisis dari data-data yang penulis dapatkan. Dari hasil penelitian ini, diketahui bahwa makna jilbab bagi seseorang adalah sebagai bentuk identitas bagi dirinya untuk mencitrakan citra ideal positif yang mereka inginkan dan juga bermakna. sebagai bentuk representasi atas keinginan subyektif yang ada pada diri pribadi mereka Ukuran jilbab yang dipakai seseorang maka akan memberikan pemaknaan yang berbeda dari si pemakai dan orang lain disekitarna. Hal ini penulis ketahui dari keenam orang mahasiswa yang menjadi informan.

Kata Kunci : Mahasiswi, jilbab dan makna























BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah
Sampai akhir dekade 80an, jilbab masih dipandang sebelah mata. Wanita berjilbab identik dengan kekolotan dan kekunoan. Siswa, mahasiswa atau dosen berjilbab identik dengan fundamentalisme yang diterjemahkan sebagai fanatisme radikal yang harus dicurigai atau dibabat habis. Sementara dalam dunia kerja, jilbab diidentikkan dengan subyektivitas yang tidak profesional, kinerja yang tidak produktif, dan performance yang tidak ‘menjual,’ sehingga wanita berjilbab dilarang masuk ke dalam lingkungan kerja, dan bila memutuskan berkarir kerap dihambat dengan alasan-alasan struktural.
Bahkan dalam beberapa tahun belakangan ini rupanya “Jilbab” atau yang lebih dikenal dengan “kerudung” menjadi sebuah tren baru di kalangan masyarakat. Kalau kita cermati kini pemakaian jilbab tidak hanya terbatas pada kalangan tertentu saja melainkan telah merambah ke berbagai kalangan masyarakat mulai dari kalangan anak – anak, anak muda maupun orang tua. Selain itu penggunaan jilbab juga tidak hanya terbatas pada acara – acara tertentu yang berbau keagamaan. Tapi kini sudah banyak orang menggunakan jilbab dalam berbagai aktivitas mereka sesuai dengan status dan peran mereka masing – masing. Mulai dari kalangan pelajar, mahasiswa, profesional, buruh, dosen, pejabat (politisi) sampai kalangan artis yang notabene merupakan publik figure. Informasi ini didapat penulis dari berbagai sumber baik melalui media cetak maupun elektronik. Hal ini menarik untuk kita cermati sebab kini jilbab tidak hanya didominasi oleh kalangan tertentu saja. Dimana jilbab, dulu hanya diidentikan dengan “pakaian santri” yang kesanya jauh dari kesan intelektual dan cenderung bersifat tradisional.
Secara terminologi, dalam kamus yang dianggap standar dalam Bahasa Arab, akan kita dapati pengertian jilbab seperti berikut: Lisanul Arab mengartikan Jilbab berarti selendang, atau pakaian lebar yang dipakai wanita untuk menutupi kepada, dada dan bagian belakang tubuhnya. Al Mu'jamal-Wasit mengartikan Jilbab berarti pakaian yang dalam (gamis) atau selendang (khimar), atau pakaian untuk melapisi segenap pakaian wanita bagian luar untuk menutupi semua tubuh seperti halnya mantel. Mukhtar Shihah mengartikan Jilbab berasal dari kata Ja lbu, artinya menarik atau menghimpun, sedangkan jilbab berarti pakaian lebar seperti mantel. Dari rujukan ketiga kamus di atas, dapat disimpulan bahwa jilbab pada umumnya adalah pakaian yang lebar, longgar dan menutupi seluruh bagian tubuh sebagaimana disimpulkan oleh Al Qurthuby Jilbab adalah pakaian yang menutupi seluruh tubuh. Dimana secara esensi terdapat berbagai ketentuan mengenai tata cara seorang perempuan dalam berjilbab Pertama, harus menutupi seluruh bagian aurat. Ke dua bukan berfungsi sebagai perhiasan. Ke tiga harus longgar dan tidak ketat tidak menggambarkan sesuatu dari tubuhnya Menurut cara pandang agama Islam jilbab identik. Ke empat tidak menyerupai laki-laki. Ke lima bukan merupakan lihas Syuhrar atau pakaian popularitas. Di sini penulis tidak ingin menggambarkan fenomena jilbab ini dari sudut pandang keagamaan tetapi meninjauanya dari sudut pandang kebudayaan.
Terlepas dari itu semua realitas yang terjadi di masyarakat adalah semakin variatifnya cara seorang perempuan dalam berjilbab (berkerudung). Variatif yang dimaksud adalah semakin beranekaragamnya “cara berkerudung”. Dimana kini dalam berjilbab tidak hanya terbatas pada satu jenis model melainkan sudah beraneka ragam variasi model dalam berjilbab (berkerudung). Model jilbab seperti model jilbab bunda baim, jilbab monahara, jilbab pasmina, jilbab bergo maupun jilbab paris merupakan keragaman model – model jilbab yang kini sedang digemari masyarakat. Jika kita cermati terdapat semacam peniruan pada beberapa model jilbab. Bahkan sebutan model jilbab menggunakan nama artis yang sedang naik daun seperti manohara, bunda baim, zaskia audya mecca dan lain – lain. Hal ini bisa jadi merupakan campur tangan para pelaku bisnis di bidang ini yang dengan jeli menangkap peluang pasar dengan memanfaatkan model artis untuk inovasi dalam bisnis mereka.
Kemudian muncul berbagai istilah di masyarakat mengenai cara berkerudung itu seperti kerudung gaul, jilbab modis, jilbab syar’i dan lain sebagainya. Dimana pada masing – masing cara berkerudung itu mempunyai cara yang lain dalam menampilkanya. Dari sini kita dapat mengindikasikan bahwa jilbab menjadi sebuah tren yang sangat lekat dengan gaya hidup (life style) masyarakat. Dimana cara seorang dalam berjilbab menjadi sebuah tren yang mengacu pada fashion. Dimana antara esensi jilbab menurut konsep islam dan esensi fashion keduanya saling bertolak belakang. Esensi jilbab menurut islam dimaksudkan sebagai identitas kemuslimahanya sekaligus sebagai pelindung bagi wanita dari bahaya yang muncul dari laki - laki. Sedangkan esensi fashion sangat menekankan pada mode atau tren yang menonjolkan keindahan tubuh wanita lewat mode pakaian. Agaknya gambaran seperti ini tercermin pada kehidupan mahasiswa di lingkungan kampus UNS. Dimana pada saat ini dapat dengan mudah kita temui mahasiswi yang mengenakan jilbab dalam aktivitas mereka di kampus. Lantas bagaimana mereka memahami esensi jilbab itu sendiri ? Bagaimana kemudian mereka memaknai jilbab sebagai bagian dari mereka ?. Lebih jauh mengenai fenomena tren jilbab ini rupanya ada kesamaan dengan dinamika fashion (busana) dimana adanya keinginan untuk selalu tampil modern dan up date turut mendorong lahirnya aneka kerudung gaya baru serta inovasi dalam desain kerudung saat ini.
Dari hal – hal yang diungkapkan diatas kiranya masalah ini menarik untuk kita kaji yang pada nantinya menghasilkan sebuah pemahaman atau wacana baru. Melalui penelitian ini penulis bermaksud untuk memahami bagaimana pelaku budaya memberikan persepsi terhadap jilbab bila ditinjau dari sudut pandang kebudayaan.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah, maka dalam penelitian ini penulis mengambil rumusan masalah sebagai berikut :
• Bagaimana makna jilbab di kalangan mahasiswi UNS?
C. Tinjauan Teori
Pernyataan paling terkenal Goffman tentang teori dramaturgis berupa buku Presentation of Self in Everyday Life, diterbitkan tahun 1959. Secara ringkas dramaturgis merupakan pandangan tentang kehidupan sosial sebagai serentetan pertunjukan drama dalam sebuah pentas. Istilah Dramaturgi kental dengan pengaruh drama atau teater atau pertunjukan fiksi diatas panggung dimana seorang aktor memainkan karakter manusia-manusia yang lain sehingga penonton dapat memperoleh gambaran kehidupan dari tokoh tersebut dan mampu mengikuti alur cerita dari drama yang disajikan.
Dalam Dramaturgi terdiri dari Front stage (panggung depan) dan Back Stage (panggung belakang). Front Stage yaitu bagian pertunjukan yang berfungsi mendefinisikan situasi penyaksi pertunjukan. Front stage dibagi menjadi 2 bagian, Setting yaitu pemandangan fisik yang harus ada jika sang actor memainkan perannya. Dan Front Personal yaitu berbagai macam perlengkapan sebagai pembahasa perasaan dari sang actor. Front personal masih terbagi menjadi dua bagian, yaitu Penampilan yang terdiri dari berbagai jenis barang yang mengenalkan status social actor. Dan Gaya yang berarti mengenalkan peran macam apa yang dimainkan actor dalam situasi tertentu. Back stage (panggung belakang) yaitu ruang dimana disitulah berjalan scenario pertunjukan oleh “tim” (masyarakat rahasia yang mengatur pementasan masing-masing actor)
Goffman mendifinisikan “self” sebagai produk atau hasil interaksi antara aktor dan penonton. Artinya self mengarahkan tingkah lakunya sesuai dengan harapan penonton yang diperoleh aktor ketika berinteraksi dengan penonton. Oleh karena itu para aktor harus selalu menyesuiakan dirinya dengan keinginan dan harapan penonton. Para aktor berharap bahwa “self” atau diri yang mereka tampilkan dalam pertunjukan itu cukup kuat atau mengesankan sehingga para penonton bisa memberikan definisi (deskripsi) tentang diri mereka itu sesuai dengan keinginan aktor itu sendiri. Yakni para aktor berharap bahwa penonton bisa mempunyai gambaran atau citra ideal positif tentang diri mereka yang sesuai dengan keinginan dan harapan aktor itu sendiri.
Goffman mendalami dramaturgi dari segi sosiologi. Beliau menggali segala macam perilaku interaksi yang kita lakukan dalam pertunjukan kehidupan kita sehari-hari yang menampilkan diri kita sendiri dalam cara yang sama dengan cara seorang aktor menampilkan karakter orang lain dalam sebuah pertunjukan drama. Cara yang sama ini berarti mengacu kepada kesamaan yang berarti ada pertunjukan yang ditampilkan. Goffman mengacu pada pertunjukan sosiologi. Pertunjukan yang terjadi di masyarakat untuk memberi kesan yang baik untuk mencapai tujuan. Tujuan dari presentasi dari Diri – Goffman ini adalah penerimaan penonton akan manipulasi. Bila seorang aktor berhasil, maka penonton akan melihat aktor sesuai sudut yang memang ingin diperlihatkan oleh aktor tersebut. Aktor akan semakin mudah untuk membawa penonton untuk mencapai tujuan dari pertunjukan tersebut. Ini dapat dikatakan sebagai bentuk lain dari komunikasi. Karena komunikasi sebenarnya adalah alat untuk mencapai tujuan. Bila dalam komunikasi konvensional manusia berbicara tentang bagaimana memaksimalkan indera verbal dan non-verbal untuk mencapai tujuan akhir komunikasi, agar orang lain mengikuti kemauan kita. Maka dalam dramaturgis, yang diperhitungkan adalah konsep menyeluruh bagaimana kita menghayati peran sehingga dapat memberikan feedback sesuai yang kita mau. Perlu diingat, dramatugis mempelajari konteks dari perilaku manusia dalam mencapai tujuannya dan bukan untuk mempelajari hasil dari perilakunya tersebut. Dramaturgi memahami bahwa dalam interaksi antar manusia ada “kesepakatan” perilaku yang disetujui yang dapat mengantarkan kepada tujuan akhir dari maksud interaksi sosial tersebut. Bermain peran merupakan salah satu alat yang dapat mengacu kepada tercapainya kesepakatan tersebut.
Dalam teori Dramatugis menjelaskan bahwa identitas manusia adalah tidak stabil dan merupakan setiap identitas tersebut merupakan bagian kejiwaan psikologi yang mandiri. Identitas manusia bisa saja berubah-ubah tergantung dari interaksi dengan orang lain. Disinilah dramaturgis masuk, bagaimana kita menguasai interaksi tersebut. Dalam dramaturgis, interaksi sosial dimaknai sama dengan pertunjukan teater. Manusia adalah aktor yang berusaha untuk menggabungkan karakteristik personal dan tujuan kepada orang lain melalui “pertunjukan dramanya sendiri”. Dalam mencapai tujuannya tersebut, menurut konsep dramaturgis, manusia akan mengembangkan perilaku-perilaku yang mendukung perannya tersebut. Selayaknya pertunjukan drama, seorang aktor drama kehidupan juga harus mempersiapkan kelengkapan pertunjukan. Kelengkapan ini antara lain memperhitungkan setting, kostum, penggunakan kata (dialog) dan tindakan non verbal lain, hal ini tentunya bertujuan untuk meninggalkan kesan yang baik pada lawan interaksi dan memuluskan jalan mencapai tujuan. Oleh Goffman, tindakan diatas disebut dalam istilah “impression management”. Goffman juga melihat bahwa ada perbedaan akting yang besar saat aktor berada di atas panggung (“front stage”) dan di belakang panggung (“back stage”) drama kehidupan. Kondisi akting di front stage adalah adanya penonton (yang melihat kita) dan kita sedang berada dalam bagian pertunjukan. Saat itu kita berusaha untuk memainkan peran kita sebaik-baiknya agar penonton memahami tujuan dari perilaku kita. Perilaku kita dibatasi oleh oleh konsep-konsep drama yang bertujuan untuk membuat drama yang berhasil (lihat unsur-unsur tersebut pada impression management diatas). Sedangkan back stage adalah keadaan dimana kita berada di belakang panggung, dengan kondisi bahwa tidak ada penonton. Sehingga kita dapat berperilaku bebas tanpa mempedulikan plot perilaku bagaimana yang harus kita bawakan. Contohnya, seorang teller senantiasa berpakaian rapi menyambut nasabah dengan ramah, santun, bersikap formil dan perkataan yang diatur. Tetapi, saat istirahat siang, sang teller bisa bersikap lebih santai, bersenda gurau dengan bahasa gaul dengan temannya atau bersikap tidak formil lainnya (ngerumpi, dsb). Saat teller menyambut nasabah, merupakan saat front stage baginya (saat pertunjukan). Tanggung jawabnya adalah menyambut nasabah dan memberikan pelayanan kepada nasabah tersebut. Oleh karenanya, perilaku sang teller juga adalah perilaku yang sudah digariskan skenarionya oleh pihak manajemen. Saat istirahat makan siang, teller bebas untuk mempersiapkan dirinya menuju babak ke dua dari pertunjukan tersebut. Karenanya, skenario yang disiapkan oleh manajemen adalah bagaimana sang teller tersebut dapat refresh untuk menjalankan perannya di babak selanjutnya.
Sebelum berinteraksi dengan orang lain, seseorang pasti akan mempersiapkan perannya dulu, atau kesan yang ingin ditangkap oleh orang lain. Kondisi ini sama dengan apa yang dunia teater katakan sebagai “breaking character”. Dengan konsep dramaturgis dan permainan peran yang dilakukan oleh manusia, terciptalah suasana-suasana dan kondisi interaksi yang kemudian memberikan makna tersendiri. Munculnya pemaknaan ini sangat tergantung pada latar belakang sosial masyarakat itu sendiri. Terbentuklah kemudian masyarakat yang mampu beradaptasi dengan berbagai suasana dan corak kehidupan. Masyarakat yang tinggal dalam komunitas heterogen perkotaan, menciptakan panggung-panggung sendiri yang membuatnya bisa tampil sebagai komunitas yang bisa bertahan hidup dengan keheterogenannya. Begitu juga dengan masyarakat homogen pedesaan, menciptakan panggung-panggung sendiri melalui interaksinya, yang terkadang justru membentuk proteksi sendiri dengan komunitas lainnya. Apa yang dilakukan masyarakat melalui konsep permainan peran adalah realitas yang terjadi secara alamiah dan berkembang sesuai perubahan yang berlangsung dalam diri mereka. Permainan peran ini akan berubah-rubah sesuai kondisi dan waktu berlangsungnya. Banyak pula faktor yang berpengaruh dalam permainan peran ini, terutama aspek sosial psikologis yang melingkupinya.
Sedangkan menurut Charles Horton Cooley melalui teori “looking glasss self” atau diri berdasarkan penglihatan orang lain, Cooley mendefinisikan tentang “self” atau diri yang dibaginya ke dalam tiga komponen yakni pertama, kita membayangkan bagaimana kita menampakan diri kepada orang – orang lain, kedua, kita membayangkan bagaimana penilaian mereka terhadap penampilan kita, ketiga, bagaimana kita mengembangkan semacam perasaan tertentu sebagai akibat dari bayangan kita tentang penilaian orang lain itu. Charles Horton Cooley (1846–1929), yang memusatkan perhatiannya pada interaksi antara individu dan kelompok. Mereka menemukan bahwa individu-individu tersebut berinteraksi dengan menggunakan simbol-simbol, yang di dalamnya berisi tanda-tanda, isyarat dan kata-kata.
Barnard dalam bukunya ‘Fashion Sebagai Komunikasi’ mengatakan bahwa komunikasi bukanlah sekadar orang dapat memikirkan sesuatu dan orang lain memahaminya secara langsung dan sempurna, Lomunikasi manusia melibatkan sesuatu untuk merepresentasikan ayau menyajikan sesuatu yang lain. Kata – kata tertulis dan lisan digunakan untuk merepresentasikan pikiran dan opini. Komunikasi manusia melibatkan penggunaan ‘tanda’ (sign).
Bagi Sauusure, tanda terdiri atas dua bagian yaitu ‘penanda’ (signifier) dan ‘petanda’ (signified). Petanda adalah bagian fisik tanda yang berupa suara atau bentuk kata. Petanda adalah konsep mental yang merupakan acuan bagi penanda. Ia adalah makna dari penanda. Secara bersama – sama, keduanya membentuk tanda (Saussure, 1974: 65-7). Suara yang dibuat dengan mengatakan kata ‘kemeja’ adalah sebuah penanda. Ini berarti atau merepresentasikan pakaian pria. Butir- bitir pakaian pria adalah sebuah petanda. Bentuk yang membentuk kata tertulis ‘kemeja’ juga merupakan sebuah penanda. Bentuk tulisan ‘kemeja’ juga berarti atau merepresentasikan pakaian pria. Penanda adalah segalanya yang berarti merepresentasikan sesuatu hal lain yang direpresentasikanya.
Secara lebih tepat, stelan, pakaian, koleksi dan citra dapat dianggap dan dianalisis sebagai penanfa, karena berarti atau merepresentasikanya sesuatu hal yang lain, Misalnya kerah baju pria diapakai terbuka tanpa dasi, dapat disebut sebagai penanda. Ia bisa disebut menandakan ketidakformalan atau santai. Disini santai merupakan petanda. Kerah yang sama dipakai tertutup dengan dasi juga dapat dianggap sebagai penanda. Ia berarti atau merepersentasikan keformalan dan kegagagan, dan keformalan dan kegagahan merupakan petanda. Sebuah kode adalah seperangkat aturan bersama yang menghubungkan penanda dengan petanda. Jika lode tak diketahui maka mungkin menjadi tak pasti apakah penanda tertentu merupakan penandaan.

D. Teknik Pengumpulan Data
Teknik utama dalam pengumpulan data adalah wawancara mendalam (depth interviewing) sedangkan metode pendukung yang digunakan adalah observasi, dokumentasi dan catatan lapangan. Wawancara mendalam dilakukan pada keenam informan sebagai sampel mahasiswi UNS diantaranya Ferary, Navita, Dian sebagai kelompok responden pertama (memakai jilbab syar’i). Dan Dwiana, Yulia dan Devita sebagai kelompok responden kedua (memakai jilbab modis/gaul). Adapun observasi dilakukan penulis dengan cara penulis melakukan observasi di Pusat Perbelanjaan Solo Grand Mall, toko perlengkapan muslim di sekitar kota Solo serta ke toko – toko perlengkapan muslim dintaranya toko jilbab Imas 3 (depan kampus UNS), toko jilbab Aisya (belakang Kampus UNS) dan toko jilbab Defi (belakang kampus UNS). Serta observasi dilakukan dengan cara penulis melakukan pengamatan langsung terhadap penggunaan jilbab dikalangan mahasiswi UNS.


BAB II
PEMBAHASAN

Pada saat ini dapat dengan mudah kita jumpai berbagai toko yang menjual beragam perlengkapan ibadah umat muslim baik di kota besar maupun di kota – kota kecil di berbagai daerah. Perlengkapan ibadah yang tersedia di toko – toko tersebut boleh dibilang cukup lengkap, dari aneka sajadah, sarung, mukena, kopiah, baju koko, kerudung, dan baju muslim tersedia di sana. Di tempat ini pula tersedia aneka pigura berisi kaligrafi ayat-ayat suci Alquran, termasuk jam dinding yang bisa melantunkan ayat-ayat suci Alquran setiap masuk waktu shalat, sekaligus mengumandangkan suara adzan. Selain itu pada beberapa toko juga menyediakan berbagai perlengkapan haji dan umroh dan juga oleh-oleh haji. Sehingga bagi masyarakat yang akan menunaikan ibadah haji ataupun umroh, mereka tidak perlu untuk pusing-pusing lagi dalam mencari segala sesuatu yang mereka butuhkan. Bahkan tidak ketinggalan di setiap sudut ruang pusat perbelanjaan dapat dengan mudah kita temui poster – poster maupun iklan sebuah produk perlengkapan busana muslim dengan daya tariknya masing – masing yang tidak jarang bisa menggiurkan keinginan dari dalam diri kita untuk memilkinya. Seperti yang ada di Pusat Perbelanjaan Solo Grand Mall, dimana di dalam pusat perbelanjaan itu terdapat beberapa outlet yang menjual berbagai perlengkapan muslim dengan merek ternama. Bahkan kini perlengkapan busana muslim telah menjelma menjadi bisnis yang subur seperti yang terjadi di kota Solo. Terbukti dengan semakin menjamurnya berbagai outlet perlengkapan muslim di berbagai sudut kota seperti di jalan Slamet Riyadi dan jalan MT. Haryono. Kini dapat dengan mudah kita jumpai berbagai outlet perlengkapan muslim ternama tersebut seperti al fath, penimo, shafira, rabbani, dan masih banyak lagi outlet – outlet yang menjual beragam perlengkapan busana muslim dengan merek yang terkenal. Begitu pula yang terjadi pada bisnis perlengakapan muslim untuk usaha kecil menengah. Berdasarkan observasi penulis di lingkungan sekitar kampus UNS, banyak berdiri usaha perlengakapan muslim yang memang sasaran utamanya adalah mahasiswa UNS sendiri.
“Membuka bisnis ini bisa dibilang cukup menguntungkan mas, omzet penjualan tiap harinya berkisar antara Rp 300.000 – Rp 500.000 dengan keuntungan tiap potongnya rata – rata Rp 3.000 – Rp 5.000” (Masturoh/Pemilik Toko Perlengkapan Muslim Imas 3/11/12/2010)

“Dalam sehari biasanya penjualan bisa sampai Rp 300.000 – Rp 450.000. Buka dari jam 10.00 – 17.30 WIB” (Nita/Pemilik Toko Perlengkapan Muslim Aisya/11/12/2010)

Pernyataan dari informan diatas mengindikasikan bahwa bisnis perlengkapan muslim di daerah sekitar kampus UNS bisa dibilang bisinis yang menjanjikan. Karena selain pemasatanya mudah, untuk membuka bisnis ini pun kendalanya tidak terlalu banyak.
Selain itu jilbab juga tidak hanya menjadi barang ekslusif yang sifatnya mahal, melainkan kini jilbab banyak yang telah beredar di pasaran dengan harga yang relatif murah sehingga dapat dijangkau oleh berbagai lapisan masyarakat. Di lingkungan sekitar kampus UNS sendiri kini telah banyak toko – toko perlengkapan muslim yang menjual berbagai perlengkapan busana muslim serta pernak – perniknya. Diantaranya toko perlengkapan muslim Imas 3 (depan kampus UNS), toko perlengkapan muslim Aisya (belakang Kampus UNS) dan toko perlengkapan muslim Defi (belakang kampus UNS) dan masih ada beberapa toko perlengkapan muslim serupa. Dimana harga yang ditawarkannya pun bisa dibilang sesuai dengan kantong mahasiswa. Seperti di toko perlengkapan busana muslim Aisya (belakang kampus UNS) yang menjual harga jilbab mulai dari harga Rp 12.000,00 – Rp 22.000,00 untuk jilbab standar yaitu jilbab Paris dan Wika. Sedangkan untuk jilbab Haikon harganya berkisar antara Rp 13.000,00 – Rp 39.000,00. Dengan harga demikian kiranya tidak heran jika banyak mahasiswa yang memiliki jilbab lebih dari cukup.
“aku punya jilbab jumlahnya lima belas. Karena tidak mungkin kalau setiap hari aku hanya pakai jilbab yang itu – itu saja. Jilbab yang aku punya yaitu jilbab paris untuk model jilbab segi empatnya dan jilbab langsung. Mereknya beragam, seperti Yumna, Donatello, Rabbani, Wika dan ada beberapa merek yang aku lupa namanya” (Dwiana/10/12/2010)

Hal senada juga diungkapkan oleh Yulia
“jilbab yang aku punyai sekarang dan yang sering aku pakai jumlahnya sebelas. Karena aku suka mematchingkan dengan pakaian yang aku pakai. Model jilbabnya untuk model jilbab segi empat kebanyakan jilbab paris karena simpel dan mudah dipakai tapi yang model manohara juga punya. Model yang lain jilbab cemplung untuk aku pakai pada acara luar. Mereknya Yumna, Harmei, Hameda, Donatello dan merek – merek lokal lainya” (Yulia/9/12/2010)

Pernyataan yang diungkapkan oleh informan tersebut mengindikasikan bahwa fenomena maraknya penggunaan jilbab atau lebih dikenal dengan istilah jilbabisasi di kalangan mahasiswa UNS apabila dikaitkan dengan konteks permasalahan diatas sesuai dengan hukum penawaran dan permintaan (ceteris paribus) dimana Jika harga semakin murah maka permintaan atau pembeli akan semakin banyak dan sebaliknya. Jika harga semakin rendah atau murah maka penawaran akan semakin sedikit dan sebaliknya. .
Di lingkungan kampus UNS sendiri kini dapat dengan mudah kita temukan mahasiswa yang berkuliah dengan mengenakan jilbab. Hampir di setiap fakultas yang ada dipastikan ada mahasiswa yang mengenakan jilbab. Bentuk dan model jilbab yang dikenakakanya pun sangat bervariasi seperti model jilbab paris, jilbab langsung, model jilbab bunda baim, jilbab monahara, jilbab pasmina, jilbab bergo sampai model jilbab volume besar. Selain itu warna dan coraknya pun sangat bervariasi. Dominasi warna jilbabnya tidak hanya satu melainkan sangat bervariasi. Serta coraknya pun beragam seperti corak jilbab dengan paduan aksesoris (bling – bling), jilbab gambar dan berbagai corak jilbab yang lain.
Berdasarkan informasi yang penulis dapatkan dari keenam informan yaitu Ferary, Navita, Dian, Dwiana, Yulia dan Devita, pada umumnya mereka mengenakan jilbab karena adanya pengaruh dari beberapa faktor diantaranya faktor keluarga, pemahaman agama, keinginan untuk mempercantik diri dan karena faktor pertemanan. Dari beberapa faktor tersebut faktor pertemananlah yang menjadi faktor pendorong dominan mereka untuk mengenakan jilbab. Seperti yang diungkapkan oleh Devita, Dwiana dan Ferary
“dulu pertama kali pakai jilbab kelas 2 SMP. Waktu itu aku berjilbabnya masih setengah – setengah. Cuma pas kalau ada acara keluar aja. Aku berjilbab karena aku melihat teman – teman ku yang pakai jilbab itu kayaknya rasanya adem dan teduh gitu.” (Ferary/16/12/2010)

“Aku mulai berjilbab waktu SMA. Karena selain sekolah ku islam dan karena aku melihat teman – teman ku yang pakai jilbab itu kok kelihatan lucu dan masih bisa tampil modis. Jadinya aku kayak terbawa arus temen – temen ku gitu.” (Devita/11/12/2010)

“aku mulai pakai jilbab pas aku SMA kelas 2. Karena waktu itu kebetulan temen – temen dekat ku pada ikut ROHIS semua. Mereka sering member ku masukan untuk aku pakai jilbab. Terus karena aku juga sering melihat mereka pakai jilbab kok kelihatanya nyaman” (Dwiana/10/12/2010)

Mengenai model jilbab yang mereka kenakan memang terdapat perbedaan antara dua kelompok responden. Dimana pada kelompok responden yang pertama (Navita, Ferary dan Dian) merupakan kelompok yang memakai jilbab sesuai dengan aturan syar’i. Sedangkan pada kelompok responden yang kedua (Dwiana, Yulia, Devita) merupakan kelompok yang memakai jilbab bermodel (gaul). Pada kelompok rseponden pertama, mereka memakai jilbab sesuai dengan tuntutan syariat islam yakni ukuran jilbabnya besar dengan diikuti pula ukuran dan model baju yang mereka pakai juga mengikuti syariat islam yakni longgar (tidak ketat). Sedangkan pada kelompok responden yang kedua, jilbab yang mereka pakai cenderung jilbab yang bermodel yakni jilbab segi empat dengan tatanan jilbabnya yang dimodifikasi. Ukuran jilbab yang mereka kenakan tidak sebesar dan semodis yang dikenakan pada kelompok responden yang pertama. Dan pakaian yang mereka kenakan pun cenderung pakaian yang modis (tidak longgar).
Inilah yang oleh Goffman dijelaskan lewat konsep dramaturginya dimana melalui pembedaan konsepnya yakni front stage dan back stage, pada bagian front stage informan bertindak sebagai aktor dengan setting mereka adalah di kampus. Kemudian bagian lain dari front stage ini yaitu personal front dimana pada bagian ini informan (aktor) memilki kelengkapan seperti buku, tas, sepatu, baju formal dan juga laptop untuk beberapa informan yang secara langsung mengidentifikasikan peran mereka sebagai mahasiswa. Lebih lanjut lagi, Goffman membagi personal front ini atas dua bagian lagi yakni appearance (penampilan) dan manner (gaya). Dimana informan memiliki berbagai kelengkapan yang dapat mengidentifikasikan diri mereka sebagai mahasiswa yang tentunya mereka juga memilki gaya atas peranya yang diharapkan sesuai dengan harapan masyarakat atas peranya itu. Jilbab sebagai bagian dari penampilan mereka membawa konsekuensi bagi sang aktor (informan) untuk memainkan gaya atas peranya sebagai mahasiswa yang secara tidak langsung mereka mendapat tuntutan dari orang lain untuk berperilaku sesuai dengan harapan mereka
Masih dalam konsep dramaturginya Goofman, dimana ia mempunyai asumsi bahwa ketika individu – individu yang berinteraksi atau memainkan lakon – lakon dalam panggung sandiwara, maka mereka ingin supaya diri (self) mereka diterima. Tetapi di pihak lain, ketika mereka memainkan peran – peranya, mereka tetap menyadari kemungkinan akan adanya penonton yang bisa menganggu pertunjukan mereka. Oleh karena itu para aktor (informan) harus selalu menyesuaikan dirinya dengan keinginan dan harapan penonton, terutama elemen – elemen yang bisa menganggu. Dalam mencapai tujuannya tersebut, menurut konsep dramaturgis, aktor (informan) akan mengembangkan perilaku - perilaku yang mendukung perannya tersebut. Selayaknya pertunjukan drama, seorang aktor (informan) yang berperan sebagai lakon dalam drama kehidupan secara tidak langsung telah mereka persiapkan berbagai kelengkapan dalam pertunjukanya tersebut. Kelengkapan ini antara lain memperhitungkan setting, kostum, penggunakan kata (dialog) dan tindakan non verbal lain, hal ini tentunya bertujuan untuk meninggalkan kesan yang baik pada lawan interaksi dan memuluskan jalan mencapai tujuan. Para aktor (informan) itu berharap bahwa Self atau Diri yang mereka tampilkan dalam pertunjukan itu, cukup kuat atau mengesankan sehingga para penonton bisa memberikan definisi (deskripsi) tentang diri mereka (aktor – aktor) itu sesuai dengan keinginan aktor itu sendiri. Hal itu berarti bahwa para aktor mengharapkan bahwa para penonton bisa mempunyai gambaran atau ideal positif tentang diri mereka, yakni gambaran yang sesuai dengan keinginan dan harapan aktor itu sendiri. Oleh Goffman, tindakan diatas disebut dalam istilah “impression management”.
Sedangkan jika dijelaskan dengan teori “Looking Glass Self” nya Cooley , dijelaskan bahwa dalam berinteraksi dengan orang lain, seorang individu akan menafsirkan gerak – gerik orang lain dan dia dapat melihat dirinya berdasarkan sudut pandang orang lain. Lebih lanjut Cooley mengungkapkan bahwa ketika seseorang berinteraksi dengan orang lain maka orang tersebut akan dapat membayangkan bagaimana orang lain memberikan penilaian terhadap mereka. Kemudian mereka pada akhirnya dapat membentuk gambaran – gambaran tentang diri mereka sendiri. Kesan muslimah yang taat terhadap syariat agama maupun kesan muslimah yang modis, elegan maupun gaul merupakan kesan yang mereka inginkan ketika mereka mengenakan jilbab sebagai bagian dari aksesoris (pelengkap) busana mereka
Merujuk pada apa yang diungkapkan oleh Cooley diatas maka ketika seseorang mengenakan jilbab secara tidak langsung ia mampu melihat dirinya sendiri melalui sudut (cara) pandang orang lain atas pengenaan jilbab olehnya. Melalui berbagai respon (tanggapan) orang lain maka dalam diri dirinya akan terbentuk skema berfikir atas tampilan dirinya di hadapan orang lain. Dengan memakai jilbab maka seseorang dalam dirinya akan berimajinansi membayangkan respon orang lain atas pemakaian jilbab olehnya. Cooley disini memberikan gambaran bahwa Dimana dalam hal ini berkaitan dengan persepsi tentang apa yang diharapkan oleh subyek (pemakai) dengan penilaian orang lain. Sehingga seseorang (pemakai jilbab) akan memberikan gambaran orang lain kepada diri mereka sendiri yang pada akhirnya meraka akan mampu mengembangkan semacam perasaan tertentu sebagai akibat dari bayangan dalam diri mereka terhadap penilaian orang lain. Seperti yang diungkapkan oleh informan
“Setelah aku rasakan pakai jilbab itu enak karena aku merasa mampu untuk mencitrakan diri sebagai cewek yang baik. Terlihat lebih cantik juga, bisa tampil beda karena bisa bereksperimen sesuka kita, bisa tambah PD dan nyaman dalam berpenampilan” (Devita/13/12/2010)

“Semenjak aku pake jilbab aku merasa diriku semakin terlindungi dari bahaya luar. Dan aku merasa nyaman memakainnya karena orang – orang disekitarku jadi lebih menghargai aku” (Yulia/11/12/2010)

“Pake jilbab itu enak, nyaman, senang dan terasa aman dari bahaya luar”(Dwiana/11/12/2010)

Ukuran jilbab yang mereka pakai secara tidak langsung telah menjadi sebuah simbol dimana orang lain dapat memberikan penilaian (respon) dari apa yang ada dalam persepsi pikiran mereka. Untuk ukuran jilbab besar dengan baju yang longgar maka orang akan cenderung memberikan penilaian kepada mereka sebagai muslimah yang taat. Sedangkan untuk ukuran jilbab kecil maupun standar dengan baju yang tidak longgar (mengikuti mode) maka orang akan cenderung memberikan penilaian kepada mereka sebagai muslimah yang modis atau gaul. Kemudian pada akhirnya mereka akan mampu dengan sendirinya membentuk gambaran atas diri mereka sendiri dengan mendasarkan atas penilaian orang lain kepadanya.
Dengan kata lain ketika seseorang mengenakan jilbab sebenarnya dibalik pemakaianya tersebut dapat menyiratkan sebuah makna yang bersifat sangat subyektif tergantung pada keinginan dalam diri mereka sendiri. Lewat jilbab mereka dapat melihat dan menginterpretasikan diri mereka sendiri melalui penilaian orang lain yang oleh Cooley disebut sebagai “self”. Selanjutnya Cooley juga menjelaskan bahwa “self” muncul dari proses komunikasi dengan orang lain . Artinya pemahaman atas diri individu muncul ketika individu berkomunikasi atau berinteraksi dengan individu lain. Tanpa adanya komunikasi dan interaksi dengan individu lain maka individu tidak akan bisa memahami diri ,meraka sendiri. Sehingga konsep tentang “self” ini bisa menjelaskan tentang latar belakang ketika seseorang mengenakan jilbab sebagai sebuah identitas bagi mereka. Melalui jilbab mereka ingin menunjukan tentang “self” mereka kepada orang lain. Seperti yang diungkapkan oleh informan
“Aku berjilbab karena emang sejak kelas 2 (dua) SMA aku pengin menunjukan identitasku sebagai seorang muslimah. Ya walaupun masih belum sempurna. Tetapi setidaknya dengan aku memakai jilbab bisa lebih memberikan dorongan bagiku untuk memperbaiki perilaku, ibadah dan sikapku” (Dwiana/11/12/2010)

Berkaitan dengan konsep diri (self) menurut Goffman diatas bahwa didalam dramaturgi juga memahami bahwa dalam interaksi antar manusia ada “kesepakatan” perilaku yang disetujui yang dapat mengantarkan kepada tujuan akhir dari maksud interaksi sosial tersebut. permainan peran yang dimainkan informan sebagai aktornya merupakan salah satu alat yang dapat mengacu kepada tercapainya kesepakatan tersebut. Dimana jilbab yang mereka pakai bisa menjelaskan identitasnya. Dimana ketika seseorang tersebut berinteraksi dengan orang lain maka secara tidak langsung dengan jilbab yang dipakainya mereka ingin menampilkan dihadapan orang lain citra ideal positif diri mereka seperti yang mereka harapkan.
“Aku merasa nyaman pakai jilbab seperti ini karena bagiku dengan aku memakai jilbab aku merasa lebih terlihat cantik, feminim, lebih terlihat sopan dan anggun” (Yulia/11/12/2010)

“Setelah aku rasakan pakai jilbab itu enak karena aku merasa mampu untuk mencitrakan diri sebagai cewek yang baik. Terlihat lebih cantik juga, bisa tampil beda karena bisa bereksperimen sesuka kita, bisa tambah PD dan nyaman dalam berpenampilan” (Devita/13/12/2010)

“Memakai jilbab bagiku satu kewajiban yang harus ditaati sebagai seoarang muslimah yakni untuk menutup aurat” (Dian/29/12/2010)

Dalam berinteraksi dengan orang lain secara tidak sadar akan muncul dalam diri mereka keinginan – keinginan yang mereka harapkan dari penonton (orang lain) untuk memberikan penilaian seperti yang mereka harapkan. Dengan jilbab yang dipakainya seolah mereka ingin menonjolkan kesan dari dalam dirinya agar orang lain bisa menaruh kesan yang sama seperti yang mereka harapkan. Inilah yang sebanarnya menjadi sebuah latar belakang bagi seseorang untuk mengenakan jilbab. Melalui jilbab mereka ingin menunjukan “self” atau diri mereka kepada orang lain. Seperti yang diungkapkan oleh (Paul du Gay,et al, 1997: 99-102). Bahwasanya penentuan “siapa aku” atau status diri ditemukan dengan mengkonsumsi produk yang citra luarnya bisa mengangkat derajat identitas dirinya. Citra luar di sini adalah ukuran, model dan jenis jilbab yang mereka pakai bisa mengangkat derajat identitas diri si aktor. Dimana dengan jilbab mereka ingin dicitrakan sebagai muslimah yang baik (kelompok responden pertama) dan juga dengan jilbab mereka ingin dicerminkan sebagai perempuan yang tidak ketinggalan tren (kelompok responden kedua). Sehingga dari sini jelas bahwa jilbab mempunyai “makna” tersendiri bagi pemakainya.
Selanjutnya menurut Goffman, dalam memainkan peranya para aktor harus selalu menyesuaikan dirinya dengan keinginan dan harapan penonton agar Self (diri) yang mereka tampilkan bisa cukup kuat. Dimana dalam hal ini ketika mereka mengenakan jilbab maka sebenarnya terdapat konsekuensi dari orang lain yang harus mereka penuhi. Seperti apabila mereka ingin terlihat cantik, feminim, anggun maupun modis dalam berjilbab maka mereka secara tidak langsung harus menunjukan ‘kecantikan’ diri mereka dengan berjilbab sesuai dengan keinginan orang lain. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh informan
“Biasanya kalau aku berjilbab, selalu aku mathcingkan dengan baju yang aku pakai. Misal bajuku coklat dan rok ku item maka aku pilih pakai jilbab yang warna netral sepeti hitam, coklat atau putih. Ya agar enak aja kalo dipandang orang lain” (Yulia/11/12/2010)

“Selain dalam memakai jilbab harus mematchingkan dengan baju, dalam memakai jilbab aku juga mempertimbangkan model jilbab yang aku pakai. Karena saat ini trenya adalah jilbab paris maka aku selalu memakai model jilbab paris” (Devita/13/12/2010)

Dalam hal lain misalnya ketika seseorang mengenakan jilbab maka mereka seolah mendapatkan ketentuan atau keharusan yang merupakan harapan orang lain untuk mereka yang mengenakan jilbab agar mereka bisa menunjukan tingkah laku yang sopan, beretika baik, maupun bisa menjaga dari hal – hal negatif. Itulah yang oleh Goffman dikatakan bahwa untuk memperkuat identitas (citra ideal) seperti yang merek harapkan maka mereka harus selalu menyesuaikan dirinya dengan keinginan dan harapan penonton (orang lain)
Lebih lanjut Goffman mengungkapkan bahwa oleh karena orang pada umumnya berusaha ingin menampilkan Self (diri) yang diidealkan dalam front stage maka mau tidak mau harus menyembunyikan hal – hal tertentu dalam pertunjukan (performance) itu. Pertama misalnya aktor menyembunyikan hal – hal yang bersifat negatif dalam kehidupanya yang berlawanan dengan citra ideal jilbab yang telah lama melekat.
“Ada perbedaan ketika aku belum pakai jilbab dengan setelah aku pakai jilbab seperti sekarang ini. Sekarang setelah aku pakai jilbab aku mulai membatasi pergaulanku tidak seperti dulu yang urakan. Sekarang dengan jilbab aku merasa harus lebih santun agar bisa menjaga jilbab yang aku pakai” (Devita/13/12/2010)

“Setelah aku pakai jilbab, aku merasa lebih termotivasi untuk memulai spiritual yang baru agar jilbab dapat lebih memacu diri agar dapat disebut sebagai orang yang pantas berjilbab” (Ferary/16/12/2010)

“Setelah aku memakai jilbab aku menjadi lebih termotivasi untuk mengontrol diriku dari perilaku negatif dan bahkan menjadi lebih terpacu untuk menghilangkan perilaku negatif itu. Ya walaupun terkadang secara tidak sadar masih sering lepas kontrol” (Yulia/31/12/2010)

Kedua, menurut Goffman aktor mungkin juga ingin menyembunyikan kekeliruan – kekeliruan yang terjadi selama latihan menjelang pertunjukan dan juga langkah – langkah yang telah diambil untuk memperbaiki kekeliruan itu. Ketiga, aktor mungkin merasa perlu untuk menunjukanya hasil dari usahanya dan tidak menunjukan usaha yang dilakukan untuk mencapai hal itu.
“Aku rasa aku gak perlu memberi tahu alasan mengapa aku pakai jilbab selama alasnya syar’i ” (Yulia/31/12/2010)

“Rasanya aku gak pernah ngomong ma orang – orang ki kenapa aku pakai jilbab. Keputusan pribadi ku kok ya kalo gak ditanya ya gak tak bahas” (Dwiana/31/12/2010)

Salah satu aspek dari dramaturgi atau pertunjukan panggung, khususnya front stage ialah bahwa aktor seringkali mencoba untuk memberikan kesan bahwa mereka lebih dekat dengan penonton daripada kenyataan sebenarnya. Guna menimbulkan kesan ini maka harus dibuat sedemikian rupa sehingga ada pemisahan antara dia dengan penonton agar jika ada kesalahan atau kekeliruan dalam pementasan, penonton tidak mengetahuinya. Kalaupun penonton mengetahui, mereka mengharapkan bahwa hal itu tidak bakal mengubah citra mereka dihadapan penonton. Seperti yang diungkapkan oleh beberapa informan diatas bahwa mereka sebisa mungkin menunjukan perilaku yang menurut mereka baik dihadapan orang lain. Dengan maksud agar orang lain tetap menunjukan kesan (citra) ideal yang kuat atas pengenakan jilbab pada diri mereka.
“Aku akan merasa malu kalau ada orang lain yang melihatku tidak memakai jilbab karena akan kelihatan gak konsekuen banget buka tutup aurat” (Dian/31/12/2010)

“Jujur aku perkewuh misal ada orang lain yang tidak biasa melihat aku pakai jilbab” (Devita/31/12/2010)

Menurut Goofman, sebelum berinteraksi dengan orang lain, maka aktor (informan) pasti akan mempersiapkan perannya dulu, atau kesan yang ingin ditangkap oleh orang lain. Kondisi ini sama dengan apa yang dunia teater katakan sebagai “breaking character”. Seperti yang diungkapkan oleh informan
“Jilbab yang aku pakai wajib aku sesuaikan dengan warna dan jenis baju yang aku pakai. Karena gak mungkin banget kalo misalnya bajuku coklat jilbabku ungu. Kan kesanya gak matching banget. Jadinya gak enak juga kalo diliat orang” (Yulia/11/12/2010)

Dengan konsep dramaturgis dan permainan peran yang dilakukan oleh informan diatas maka terciptalah suasana - suasana dan kondisi interaksi yang kemudian memberikan makna tersendiri. Dimana jilbab sebagai bagian dari kelengkapan mereka dalam memainkan peranya sebagai mahasiswa mampu memberikan makna kepada orang lain dimana munculnya pemaknaan ini sangat tergantung pada latar belakang sosial masyarakat (orang lain disekitarnya ) itu sendiri.
Mengenai konsep back stage atau belakang panggung yang diterangkan Goffman bahwasanya bagian belakang panggung biasanya tertutup atau terpisah dari bagian depan panggung atau tidak bisa dilihat dari bagian depan panggung dengan kondisi bahwa tidak ada penonton. Sehingga aktor (informan) dapat berperilaku bebas tanpa mempedulikan plot perilaku bagaimana yang harus kita bawakan. Mereka mengusahakan supaya para penonton tidak boleh muncul pada bagian belakang panggung. Performance akan menjadi cukup sulit apabila mereka tidak berhasil mencegah penonton memasuki back stage. Didalam back stage ini para aktor (informan) tidak perlu untuk bertingkah laku sesuai dengan harapan – harapan orang lain dari peranya itu. Seperti yang diungkapkan informan
“Intensitas ku memakai jilbab kebanyakan ketika aku ada acara di luar rumah seperti kuliah, main, olahraga dan lain sebagaianya. Selebihnya itu misalkan dirumah atau di kos aku tidak pakai jilbab. Jadi aku malu sekali jika ada orang lain yang belum terbiasa melihat aku memakai jilbab ketika mereka tahu aku tidak sedang memakai jilbab” (Navita/26/12/2010)



Hal senada juga diungkapkan oleh Dwiana
“aku pakai jilbab cuma pas aku keluar rumah aja. Kalo di kos atau dirumah biasanya aku gak pakai” (Dwiana/11/12/2010)

Sementara jika merujuk pada konsep semiologi Saussure , dalam penjelasanya dapat diambil pengertianya bahwa suara yang dibuat dengan mengatakan kata ‘jilbab’ adalah sebuah penanda. Karena ini berarti merepresentasikan identitas wanita muslim. Butir – butir identitas wanita muslim adalah sebuah petanda. Lebih lanjut bentuk yang membentuk kata tertulis ‘jilbab’ juga merupakan sebuah penanda. Karena bentuk tulisan ‘jilbab’ juga berarti merepresentasikan identitas wanita muslim. Dan butir – butir identitas wanita muslim adalah sebuah petanda. Baik itu bentuk lisan atau tertulis adalah jilbab. Mereka tidak tampak sama atau terdengar seperti jilbab, namun mereka digunakan untuk menandai dan untuk merepresntasikan jilbab.
Lebih lanjut berkaitan dengan masalah diatas, Jilbab diartikan sebagai penanda (signifier) karena jilbab merepresentasikan sesuatu hal lain yang direpresentasikanya. Misalnya jilbab yang dikenakan wanita dengan model jilbab besar (Navita, Ferary dan Dian) mampu merepresentasikan sesuatu hal lain yang disini dimaksudkan sebagai penanda (signified). Dengan model jilbab yang seperti itu bisa disebut merepresentasikan cerminan wanita yang taat akan ajaran agamanya. Disini cerminan wanita (muslimah) yang taat akan ajaran agama merupakan petanda. Hal ini dikarenakan orang mengetahui kode mengenai besar kecilnya ukuran jilbab yang dipakai wanita yang dipahami orang sebagai ukuran ketaatan wanita terhadap ajaran agamanya sebagai petanda. Dimana secara esensinya yang dipahami orang sebagai jilbab yang syar’i adalah jilbab yang seperti itu. Sehingga kemudian orang lain akan memberikan kesan maupun respon yang demikian terhadap si pemakainya. Sementara jika jilbab yang dikenakan seorang wanita berukuran kecil dan dibuat modifikasi (Dwiana, Yulia dan Devita) dalam pemakaianya yang dalam hal ini ukuran jilbab yang kecil disebut sebagai penanda, mampu memberikan penandaan akan tampilan wanita (muslimah) yang modis dan gaul. Kesan modis dan gaul inilah yang disebut sebagai petanda. Hal ini dikarenakan orang lain mengetahui jika jilbab yang dimodifikasi baik pada model maupun cara memakainya dipahami orang sebagai jilbab yang gaul. Sehingga orang lain akan memberikan kesan yang seperti itu kepada si pemakainya. Menurut Saussure, hal ini dikarenakan adanya sebuah kode yang baginya kode adalah seperangkat aturan bersama yang menghubungkan penanda dengan petanda. Jika kode tidak diketahui maka mungkin menjadi tidak pasti apakah penanda tertentu merupakan penandaan. Dengan demikian dengan kode inilah yang kemudian akan membuat orang akan memberikan kesan atau respon terhadap si pemakai jilbab atas pemahaman kode – kode tertentu yang telah mereka pahami.























BAB III
PENUTUP


Kesimpulan
Dari keenam informan yang penulis jadikan sebagai sampel atas permasalahan yang penulis angkat ini bukanlah representasi secara keseluruhan tentang fenomena maraknya jilbab dikalangan mahasiswi UNS. Melainkan keenam informan yang penulis jadikan sebagai sampel tersebut hanyalah mencerminkan bagian daripada sebuah gambaran bahwa setiap individu yang dalam hal ini adalah wanita muslim yang mengenakan jilbab pada setiap dirinya memiliki keiginan yang sifatnya sangat subyektif. Dimana hal ini bergantung pada bagaimana individu itu memberikan ‘makna’ terhadap jilbab yang mereka kenakan.
Makna yang mereka berikan terhadap jilbab yang mereka kenakan menunjukan kesubyektifan atas diri pribadi mereka. Untuk kemudian melalui jilbab yang mereka kenakan, mereka seolah tidak hanya ingin menutupi bagian – bagian tubuh mereka semata tetapi lebih daripada itu mereka mampu memberikan makna yang lebih jauh dari itu sebagai bentuk representasi atas keinginan subyektif yang ada pada diri pribadi mereka. Dimana sebagai konsekuensinya orang lain dengan dengan pikiranya akan memberikan persepsi yang berbeda (relatif) atas jilbab yang mereka kenakan. Sehingga dalam kajian ini, jilbab bukan berarti sebagai sehelai kain yang berfungsi untuk menutupi bagian tubuh semata. Tetapi jilbab dapat bermakna lain bagi individu (wanita muslim) yang mengenakanya.

DAFTAR PUSTAKA
Barnard, Malcolm. 1996. Fashion as Communication. Routledge.
Douglas J.Goodman, George Ritzer. 2004. Teori Sosiologi Modern. Jakarta. Kencana
http://communicare-santi.blogspot.com/2007/08/jilbab-gaul-ketika-budaya pop.html/Diakses tanggal 29 Desember 2010 pukul 14.45 WIB
http://nisa-education.blogspot.com/2009/12/apa-itu-jilbab-apa-pengertian-jilbab.html
http://daniabreaker.blogspot.com/2009/04/dramaturgi-erving-goffman.html